PERTANIAN PADI SEBAGAI EKONOMI LOKAL KABUPATEN BULUKUMBA, SULAWESI SELATAN YANG BERORIENTASI EKSPOR

Gambar //

Kabupaten Bulukumba merupakan nama sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 153 km dari ibukota provinsi. Terletak antara 05020’ – 05040’ LS dan 119058’ – 120028’ BT. Pada sebelah utara, Kabupaten Bulukumba berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng. Kabupaten Bulukumba memiliki luas wilayah sekitar 1.154,7 km2 atau sekitar 2,5% dari luas total wilayah Sulawesi Selatan. Wilayah kabupaten terbagi menjadi 10 kecamatan yang memiliki 27 kelurahan dan 99 desa. Adapun kecamatan yang memiliki luas terluas adalah Kecamatan Gantarang (173,5 km2) dan Bulukumpa (171,3 km2) dimana kedua kecamatan tersebut memiliki total luas ± 30% total luas kabupaten.

Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, Kabupaten Bulukumba memiliki jumlah penduduk sebanyak 394.757 orang yang terdiri atas 186.649 orang laki-laki dan 208.108 orang perempuan. Kabupaten Bulukumba memiliki laju pertumbuhan penduduk pertahun sebesar 0,8% selama kurun waktu 10 tahun terakhir (2000-2010). Persebaran penduduk di Kabupaten Bulukumba masih bertumpu pada Kecamatan Gantarang dan Kecamatan Bulukumpa dimana kedua kecamatan tersebut masing-masing memberi kontribusi sebesar 18% dan 12,86% bagi distribusi penduduk di Kabupaten Bulukumba.

Berdasarkan RPJM 2010-2015 Kabupaten Bulukumba, pemerintah daerah berupaya dalam mengembangkan perekonomian wilayah dan pembangunan melalui pengembangan sektor basis pertanian, pariwisata, dan jasa-jasa. Langkah lainnya adalah dengan meningkatkan sumber daya manusia, infrastruktur, menciptakan iklim investasi yang kondusif, dan kemudahan penyediaan lahan. Dalam hal ini, pemerintah daerah dan masyarakat setempat mengolah sumber daya yang ada dalam bentuk hubungan kerjasama antara pemerintah daerah dan swasta sehingga akan tercipta lapangan pekerjaan baru yang berguna bagi perkembangan ekonomi wilayah.

Sebanyak 66% penduduk di Kabupaten Bulukumba bekerja disektor pertanian. Berdasarkan data PDRB Kabupaten Bulukumba tahun 2000-2009, sektor pertanian merupakan sektor basis yang paling banyak memberi kontribusi bagi perkembangan perekomomian lokal, yaitu sebesar 52,9%. Adapun sub sektor dari sektor pertanian yang paling banyak dikembangkan di Kabupaten Bulukumba adalah tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan. Namun dari beberapa sub sektor tersebut, yang paling banyak berkontribusi adalah jenis pertanian tanaman pangan, dan jenis tanaman yang menjadi komoditas andalan adalah tanaman padi.

Potensi sumberdaya lahan pertanian di Kabupaten Bulukumba juga cukup besar yakni seluas 22.458 Ha dan tersebar di 10 kecamatan yang ada, namun kecamatan yang paling banyak memiliki lahan persawahan adalah Kecamatan Gantarang, yaitu sebesar 35,67% dari total luas lahan pertanian yang ada di Kabupaten Bulukumba. Berdasarkan hasil analisis LQ yang berpedoman pada PDRB Kabupaten Bulukmba tahun 2000-2009, sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki nilai LQ (Location Quotient) tertinggi dan memiliki kecenderungan untuk terus naik dalam kurun waktu 10 tahun dengan tingkat kenaikan mencapai 1,78. Dalam teori LQ, jika nilai LQ>1 maka sektor tersebut merupakan sektor basis di wilayah tersebut dan berpotensi untuk dijadikan sebagai komoditas ekspor. Hal tersebut nampak pada sektor pertanian yang ada di Kabupaten Bulukumba yang menjadi sektor basis dan unggulan serta berorientasi ekspor karena selain telah dapat mencukupi kebutuhan beras lokal, juga dapat dijadikan sebagai komoditas ekspor (baik ke wilayah atau provinsi lain maupun internasional) yang berperan dalam upaya pengembangan ekonomi lokal.

Kabupaten Bulukumba memiliki kontribusi yang cukup besar dalam upaya menjadikan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai daerah lumbung padi nasional. Hal ini tampak dari upaya pemerintah Kabupaten Bulukumba yang berusaha keras dalam upaya membangun sistem perkonomian dengan mengandalkan potensi lokal daerah, dan ini tercermin dalam pembangunan Sentra Kawasan Industri (SKI) Bulukumba yang akan di pusatkan di Kelurahan Mariorenmu, Kecamatan Gantarang. Salah satu pabrik yang kini telah beroperasi adalah Pabrik pengolahan padi atau Rice Processing Complex (RPC)  yang dibangun pada tahun 2011 lalu ini. Pabrik ini merupakan ikon bagi masyarakat Kabupaten Bulukumba. RPC ini juga telah dilengkapi dengan teknologi pengolahan yang canggih dan berteknologi modern, sehingga beras yang dihasilkan adalah berasi dengan kualitas terbaik dan siap di distribusikan. Dengan keberadaan pabrik tersebut, kualitas produksi beras petani dapat dipertahankan 6-12 bulan. Selain itu, dengan keberadaan pabrik tersebut, hasil produksi beras di Bulukumba juga mengalami peningkatan mencapai 100-350 ton per hari. Hal tersebut pada akhirnya dapat memberi pengaruh bagi stabilitas harga yang dapat terjamin.

Langkah lain yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bulukumba dalam upaya mendorong pertanian padi sebagai ekonomi lokal yang berpotensi ekspor adalah melalui penciptaan bibit padi varietas unggul agar padi yang dihasilkan dapat memiliki kualitas terbaik di antara beras lainnya. Dalam upaya mengembangkan padi agar dapat dijadikan sebagai beras ekspor, Kementerian Pertanian Indonesia juga telah memberi ijin ekspor beras dengan persyaratan bahwa beras yang dihasilkan adalah jenis beras super dengan menggunakan pupuk organik untuk akhirnya diekspor ke pasar internasional.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Bulukumba memiliki sektor basis ekonomi di bidang pertanian teruatama tanaman padi. Sektor pertanian menjadi sektor basis karena selain telah dapat untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk lokal, komoditi padi dari sektor tersebut juga dapat di ekspor baik ke berbagai wilayah lainnya dalam lingkup nasional, maupun ke pasar internasional. Pengembangan sektor basis tersebut diupayakan pemerintah daerah dengan tetap melihat kondisi sumber daya alam dan manusia lokal yang ada. Adanya sistem kelembagaan yang baik serta dorongan dari pemerintah daerah pusat memberi implikasi bagi semakin berkembanganya pertanian padi di Kabupaten Bulukumba yang kini telah menjadi komoditas ekspor serta dijadikannya daerah tersebut sebagai salah satu lumbung padi nasional.

Usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendukung upaya tersebut adalah dengan membangun pabrik pengolahan padi (RPC) di Kecamatan Gantarang yang berteknologi canggih yang mampu menghasilkan beras dengan jumlah lebih banyak dengan tetap menggunakan padi lokal serta kualitas terbaik. Keberadaan pabrik tersebut secara langsung juga berdampak bagi penciptaan lapangan usaha baru bagi penduduk setempat. Usaha lainnya yang kini sedang diupayakan adalah dengan menciptakan bibit padi bervarietas unggul sehingga beras yang dihasilkan berkualitas super dan dapat ekpor ke internasional. Sedangkan upaya dari pemerintah pusat adalah telah diberikannya ijin ekspor dari Kementerian Pertanian Indonesia namun dengan persyaratan beras yang diekspor adalah beras kualitas super dengan pupuk organik.

Dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut, diharapkan kualitas hidup penduduk di Kabupaten Bulukumba dapat lebih terjamin, dimana tetap memperhatikan ketersediaan sumber daya lokal. Namun, diperlukan pula upaya penciptaan teknologi dan terobosan baru dalam mengimbangi hasil sumber daya lokal yang dihasilkan. Sehingga, dengan adanya keterpaduan di antaranya, perekonomian lokal wilayah Kabupaten Bulukumba dapat terus dikembangkan dengan tidak mematikan potensi lokalnya serta pendapatan APBD Bulukumba juga dapat bertambah. Peningkatan APBD tersebut dapat digunakan dalam perbaikan infrastruktur yang ada, sehingga dengan keberadaan infrastruktur yang memadai minat investor untuk berinvestasi di Kabupaten Bulukumba  dapat ditarik. Strategi kolaborasi antara pemerintah daerah dengan investor tersebut pada akhirnya akan dapat dilakukan dalam upaya pengembangan sektor pertanian sebagai sektor basis ekonomi di Kabupaten Bulukumba dengan tetap memberdayakan masyarakat dan potensi lokal.

Addapted From :

http://kabupatenbulukumba.blogspot.com

http://www.fajar.co.id/read-20110211172523-pemkab-gagas-sentra-kawasan-industri

http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/36070/gubernur-resmikan-pabrik-penggilingan-padi-terpadu-bulukumba

http://cakrawalaberita.com/ekonomi/beras-bulukumba-sasar-pasar-luar-negeri

Potensi dan Permasalahan Kota Yogyakarta

 

andong

 

Potensi Budaya dan Pariwisata Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta sebagai salah satu kota kuno di Indonesia merupakan kota yang lahir secara terencana. Dalam hal ini baik pemilihan lokasi hingga rencana tata ruang semua terencana dengan baik. Civic center (CBD) yang dimilikinya berfungsi sebagai pusat bagi berbagai macam kegiatan penduduk, baik sebagai pusat politik, spiritual, ekonomi, pertahanan, dan rekreasi (Kostof, 1992). Adapun yang menjadi Civic center (CBD) ini merupakan kawasan keraton dan sekitarnya hingga kepatihan. Dalam kawasan ini terdapat berbagai macam bangunan yang digunakan sebagai kawasan permukiman maupun pusat kegiatan perdagangan dan jasa yang berguna untuk menunjang kehidupan bermasyarakat. Civic Center di pusat Kota Yogyakarta ini memberntuk sebuah pola tertentu. Civic Center (CBD) ini dijadikan sebagai pusat kehidupan penduduk kota karena di dalamnya terdapat komponen yang merepresentasikan aspek kehidupan sosial, politik, keagamaaan, dan ekonomi. Adapun pola-pola tersebut adalah alun-alun lor yang merupakan pusat kota dikelilingi Masjid Agung di sebelah baratnya, keraton di sebelah selatannya, dan pasar di sebelah utara.

Permukiman yang terdapat di pusat Kota Yogyakarta adalah berupa permukiman penduduk kuno yang dapat dilacak keberadaannya dari toponim. Toponim ini dapat seperti Pacinan, yang merupakan kawasan permukiman orang-orang Cina, Sayidan, yang merupakan kawasan permukiman orang Arab, Gerjen yang merupakan kawasan permukiman penjahit, Dagen yang merupakan permukiman tukang kayu, Siliran yang merupakan permukiman para selir-selir. Toponim ini digambarkan dalam bentuk keanekaan profesi, asal, dan lapisan penduduk Yogyakarta masa lampau.

Pada Civic Center (CBD) Kota Yogyakarta terdapat tata letak komponen-komponen yang dapat dirutkan sebagai berikut Utara jalan Malioboro terdapat kompleks kepatihan, Pasar Beringharjo, Alun-Alun Lor, Masjid Agung, keraton, Taman Asri, Alun-Alun Kidul, Tembok Baluwarti, jaringan jalan, dan permukiman penduduk. Berbagai potensi terkait dengan ekonomi, pariwisata, kebudayaan, dan keagamaan itulah yang membuat Kota Yogyakarta dapat berkembang dalam segi perkonomian. Hal ini dikarenakan menarik minat investasi dan wisatawan untuk berkunjung sehingga menambah jumlah lalu lintas barang dan jasa yang terjadi.

Diperlukan peran besar dari pemerintah Kota Yogyakarta untuk dapat terus mengembangkan potensi yang ada melalui penyediaan fasilitas, seperti transportasi baik yang dapat diwujudkan dalam upaya peningkatan fungsi jalan maupun penciptaan kendaraan yang dapat mejangkau setiap tempat yang menjadi potensi tersebut. adapun kendaraan yang dapat digunakan baik kendaraan bermotor maupun tidak bermotor; fasilitas penginapan; pusat-pusat perbelanjaan yang layak dan disediakan fasilitas khusus untuk itu; dan jasa-jasa lainnya. Diperlukan pula peran dari masyarakat setempat dalam upaya mendukung kebijkan pemerintah yang telah dicanangkan yang tentunya kebijkan itu masih tetap mengacu pada budaya lokal sehingga dengan berkembangnya potensi budaya lokal juga masih dapat tetap terjaga.

Permasalahan Kota Yogyakarta

a.      Masalah Fisik Alam

Letak geografis Kota Yogyakarta yang terletak antara Gunung Merapi dan Samudera Hindia menimbulkan permasalahan terkait resiko terjadinya bencana alam berupa gempa bumi vulkanik dan tektonik. Selain itu, Kota Yogyakarta juga terlewati oleh Sungai Code, Winongo, dan Gajah Wong yang apabila musim hujan berpotensi menimbulkan banjir dan tanah longsor di daerah aliran sungai yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh pemerintah Kota Yogyakarta karena bagian hulu dan penyangga berada di luar wewenang Kota Yogyakarta.

b.      Masalah Lingkungan dan Sosial

Kota Yogyakarta terus mengalami perkembangan baik dilihat dari segi aktivitas maupun jumlah penduduknya. Dari Civic Center (CBD) yang ada kemudian muncul Civic Center baru karena adanya perkembangan-perkembangan tersebut. Perkembangan inilah yang memberi implikasi bagi semakin berkurangnya ruang terbuka di Kota Yogyakarta. Apalagi setelah adanya kebijakan APY antara Kota Yogyakarta yang berdampak bagi semakin meluasnya kawasan permukiman, komersial, dan berkembanganya jalur transportasi. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi juga memberi dampak bagi pertambahan sarana dan prasarana akibat perkembangan kebutuhan penduduk kota, dimana jika dalam pengelolaan sarana dan prasarana ini kurang baik, maka masalah perkotaan seperti lingkungan kumuh, munculnya bangunan liar, menurunnya jumlah kualitas dan kuantitas, dan permasalahan terkait limbah akan semakin meningkat sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Selain itu, dampak lainnya dalam kehidupan sosial budaya adalah terjadinya pergeseran tradisi dan mulai melunturnya tradisi-tradisi kuno diakibatkan masuknya efek-efek moderinasi dan pengaruh globalisasi dalam kehidupan sehari-hari.

c.       Masalah Transportasi

Permasalahan yang sangat mencolok yang terjadi di Kota Yogyakarta ini adalah masalah transportasi, dimana masih sering ditemuinya kemacetan-kemacetan terutama di kawasan pusatnya. Kawasan pusat yang dijadikan sebagai pusat perkonomian secara tidak langsung memberi dampak bagi transportasi juga. Banyak ditemukan kendaraan-kendaraan yang parkir secara on street karena terbatasnya lahan parkir yang ada. Disebabkan pula oleh kendaraan tidak bermotor seperti dokar dan becak yang parkir secara sembarangan sehingga menambah tingkat kemacetan lalu lintas. Banyaknya volume kendaraan yang melintas juga menyebabkan kawasan pusat ini rentan macet. Permasalahan lainnya seperti masih adanya permukiman padat yang muncul di sekitar pusat kota Yogyakarta ini. Permukiman ini dimungkinkan merupakan permukiman kecil yang muncul karena adanya migran dari berbagai daerah yang ingin menetap di dekat pusat kota sebagai upaya meminimalkan biaya dan jarak tempuh menuju pusat kota.

Jumlah penduduk yang semakin bertambah, diikuti dengan meningkatnya daya beli masyarakat terhadap kendaraan bermotor memicu meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta. Sumber dari PUSTRAL menyatakan bahwa di Kota Yogyakarta rata-rata setiap bulannya terjual 6.000 sepeda motor. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor roda dua di kota Yogyakarta telah menggantikan alat transportasi lain misalnya bus yang hanya beroperasi sebanyak 591 bus dan dapat kita cermati banyak yang hanya mengangkut sedikit penumpang. Padahal, panjang jalan di kota hanya 224,86 kilometer. Tak heran, di sejumlah ruas jalan vital, seperti jalan Malioboro dan sekitarnya kerap terjadi kemacetan yang cukup panjang.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa permasalahan transportasi di kota Yogyakarta dipengaruhi oleh:

  • Tidak seimbangnya pertambahan jaringan jalan serta fasilitas lalu lintas dan angkutan bila dibandingkan dengan pesatnya pertumbuhan kepemilikan kendaraan yang berakibat pada meningkatnya volume lalu lintas.
  • Meningkatnya mobilitas orang, barang, jasa dan pariwisata.
  • Kurang disiplinnya pengemudi.
  • Menurunnya kondisi fisik angkutan.
  • Permasalahan tarif dan rute atau trayek.
  • Manajemen lalulintas yang kurang baik
  • Ketidakterpaduan pengelolaan sistem transportasi.
  • Pengembangan kota yang tidak diikuti dengan sturktur tata guna lahan yang serasi (tata ruang belum terpadu

d.    Masalah Menyempitnya Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Permasalahan yang berkaitan dengan ruang terbuka publik atau ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa tantangan tipikal perkotaan, separti menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan dan di lingkungan permukiman warga, pencemaran udara yang semakin meningkat dengan semakin tingginya laju pertumbuhan kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak, dan perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra- produktif dan individual sehingga menurunnya tingkat kepedulian terhadap lingkungan.

Peningkatan kepadatan lalu lintas di Kota Yogyakarta berimplikasi bagi meningkatnya tingkat polusi udara di kota ini. Ini disebabkan oleh banyaknya kendaraan yang melintas. Masalah penurunan kualitas udara sehat dan bersih di Kota Yogyakarta juga disebabkan karena semakin berkurangnya pepohonan sebagai akibat dari adanya alih fungsi lahan menjadi kawasan budidaya baik untuk kawasan permukiman maupun kawasan komersial. Berkurangnya daerah penyangga yang walaupun berada di luar wewenang Kota Yogyakarta juga turut memberi akibat bagi penurunan kualitas udara kota

e.       Masalah Kualitas Air Bersih

Masalah lain terkait prasarana di Kota Yogyakarta adalah tentang kualitas air bersih. Terjadinya pencemaran air disebabakan oleh buangan limbah baik limbah rumah tangga maupun industri yang tidak memperhatikan aturan pembuangan limbah. Selain itu, disebabkan pula oleh sumber air dari bagian hulu yang airnya bercampur dengan lumpur akibat gerusan tanah karena erosi dan penggundulan vegetasi di perbukitan dan hutan. Walaupun pihak pemerintah telah memberikan bantuan jaringan PDAM dengan sistem perpipaan dan non-perpipaan, namun cakupan pelayanannya baru sekitar 60% saja

f.       Masalah Kependudukan

Tingkat urbanisasi Kota Yogyakarta cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya daya tarik lokal kota berupa pariwisata serta pendidikan. Kedua hal inilah yang menyebabkan peningkatan tingkat migrasi penduduk untuk mau tinggal dan beraktivitas di kota ini. Adanya migrasi penduduk ini berimplikasi bagi meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran Kota Yogyakarta.

Tantangan Pembangunan Kota Yogyakarta

Dari permasalahan yang telah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan mengenai tantangan yang dihadapi dalam pembangunan Kota Yogyakarta, antara lain :

  • Kondisi Fisik

–        Ancaman bahaya yang disebabkan oleh kondisi alam.

–        Minimnya penanganan  evakuasi warga saat bahaya tiba.

–        Kurangnya kesadaran masyarakat yang bermukim di area yang memiliki bahaya geologi tinggi.

  • Transportasi

–        Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor.

–        Berkurangnya kedisiplinan pengemudi.

–        Ketidakpedulian pengelolaan sistem transportasi.

–        Menurunnya minat dalam menggunakan kendaraan umum sebagai alat transportasi.

–        Buruknya manajemen lalu lintas.

  • Ruang Terbuka Hijau

–        Semakin berkurangnya lahan terbuka hijau disebabkan alokasi lahan sebagai lahan permukiman.

–        Menurunnya tingkat kepedulian masyarakat akan keadaan lingkungan.

 

Strategi Intervensi Pembangunan Kota Yogyakarta

   Menanggapi tantangan di atas, diperlukan strategi intervensi yang mampu mengatasi tantangan tersebut. Strategi intervensi tersebut antara lain :

a. Kondisi fisik

  • Meningkatkan evakuasi korban melalui pelatihan-pelatihan agar korban yang diakibatkan oleh bencana alam tersebut mampu secara cepat dan teoat ditangani.
  • Melakukan sosialisasi dan pemberitahuan mengenai lahan-lahan yang berpotensi bahaya sehingga dapat mencegah dan meminimalisir korban akibat bencana.

b. Transportasi

  • Membatasi kepemilikan kendaraan bermotor dengan mengadakan regulasi yang ketat.
  • Membuat regulasi yang mengikat bagi para pengendara kendaraan bermotor agar dapat tertib berlalu lintas.
  • Melakukan perbaikan dalam pengelolaan sistem lalu lintas dan transportasi.
  • Pengembangan kualitas kendaraan umum sebagai alat transportasi melalui peremajaan
  • Melestarikan dan mendukung keberadaan angkutan-angkutan umum yang bersifat non-motorized seperti andong, becak sebagai salah satu penunjang aktivitas pariwisata sehingga penggunaan angkutan umum bersifat motorized bisa diminimalkan
  • Menggiatkan pengadakan event-event khusus seperti car free day dan gerakan gemar bersepeda sebagai salah satu langkah meminimalkan dampak lingkungan akibat transportasi.

c. Ruang Terbuka Hijau (RTH)

  • Membuat dan merealisasikan peraturan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) sebagai produk tata ruang yang mampu mengendalikan aktivitas pembangunan yang secara tak langsung berimplikasi bagi keberadaan RTH yang makin menyempit.
  • Meningkatkan kesadaran masyarakat akan lingkungan melalui gerakan-gerakan yang mampu mengajak masyarakat untuk dapat peduli terhadap lingkungan.
  • Memultifungsikan RTH yang ada sebagai ruang terbuka publik yang dapat berfungsi sosial dan ekonomis

Public Private Partnership (Kerjasama Pemerintah-Swasta)

Menurut William J. Parente dari USAID Publik Private Partenership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) adalah an agreement or contract, between a publik entity and a private party, under which:a) private party undertakes government function for specified period of time, b) the private party receives compensation for performing the function, directly or idirectly, c) private party is liable for the risks arising from performing the function and, d) the publik facilities, land or other resources may be transferred or made available to the private party. Dari definisi tersebut PPP merupakan bentuk perjanjian atau kontrak antara sektor publik dan sektor privat yang terdiri atas beberapa ketentuan, antara lain: sektor privat menjalankan fungsi pemerintah untuk periode tertentu; sektor privat menerima kompensasi atas penyelenggaraan fungsi, baik secara langsung maupun tidak langsung; sektor privat bertanggung jawab atas resiko yang timbul dari penyelenggaraan fungsi tersebut. Jadi, dalam PPP terdapat pengurangan/reduksi aktivitas atau kepemilikan pemerintah dalam suatu pelayanan atau industri tertentu  dikarenakan sektor privat (swasta) berpartisipasi dalam penyediaan layanan (service delivery).

Konsep PPP dapat dijadikan sebagai alternatif penyediaan infrastruktur. Publik Private Partnership dapat memunculkan hubungan antara publik dan private untuk bekerjasama dalam pembangunan. Keuntungan yang dapat diperoleh pada hubungan ini adalah inovasi, kemudahan keuangan, kemampuan teknologi, dan pengaturan efisiensi.

Secara umum, PPP memiliki beberapa bentuk, yakni :

a) Kontrak Servis (Service Contract) merupakan Kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu, misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi/fee.

b) Kontrak Manajemen (Management Contract) adalah kontrak kerjasama dimana pemerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation&maintenance) suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap/fixed fee.

c) Kontrak Sewa (lease) adalah kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung resiko komersial. Masa kontrak umumnya antara 8-25 tahun.

d) Konsesi (Consession) adalah wujud kerjasama dimana Pemerintah memberikan tidak saja tanggung jawab pengelolaan, tetapi juga aset dan investasi baru. Konsesi adalah pengembangan dari leasing. Dalam hal ini, pihak privat tidak hanya menyewa aset tapi juga dapat mengembangkan aset baru. Resiko kerugian semua ditanggung oleh privat. Konsesi Tepat dilakukan jika investasi skala besar diperlukan untuk pengembangan atau perbaikan pelayanan. Masa kontraknya 25-30 tahun.

e) Build Operate Transfer (BOT) dan Build Operate Operation (BOO) adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special purpose company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan(O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 20 sampai 30 tahun. Perbedaan BOT dan BOO adalah jika BOT setelah masa kontrak habis aset akan dikembalikan ke pemerintah dan jika BOO setelah masa kontrak habis tidak dikembalikan ke pemerintah

f) Divestasi merupakan penjualan aset atau saham atau pengambilalihan manajemen dimana pemerintah tetap berperan sebagai fungsi regulasi dan kontrol sedangkan pembangunan, pengelolaan, dan maintenance sudah ditanggung oleh privat.

 

Manfaat PPP :

  • penghematan biaya
  • pembagian risiko (risk sharing)
  • perbaikan atau mempertahankan tingkat pelayanan
  • peningkatan pendapatan dari layanan
  • pelaksanaan yang lebih efisien
  • manfaat ekonomi yang lebih luas (efek pengganda, penciptaan lapangan kerja)

Resiko PPP :

  • hilangnya kontrol pemerintah
  • penambahan biaya (jika tidak tepat penetapan tarif dan biaya sosial lain)
  • risiko finansial berupa arus kas dalam pelaksanaan
  • risiko politis berupa instabilitas
  • tingkat akuntabilitas yang tidak bisa diterima
  • pelayanan yang kurang prima
  • ketidakmampuan memanfaatkan kompetisi yang disediakan
  • berkurangnya kualitas/efisiensi pelayanan
  • bias dalam proses seleksi

 

Pembiayaan Pembangunan

Definisi Pembiayaan Pembangunan

Menurut David N. Hyman (1993), Pembiayaan pembangunan adalah cabang dari ilmu ekonomi yang mempelajari upaya-upaya pemerintah dalam rangka membiayai berbagai pengeluaran pemerintah sesuai fungsi yang diembannya terkait penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat, dimana dalam kegiatan penyediaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah terjadi melalui proses politik dengan berbagai prosedur dan aturan yang berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan pilihan masyarakat. Jadi, dalam hal ini pemerintah berperan sebagai penyedia infrastruktur publik. Menurut Direktorat Neraca Pembayaran dan Kerjasama Ekonomi Internasional, Bappenas Indonesia, secara garis besar sumber pembiayaan pembangunan dikelompokkan menjadi sumber pajak dan non pajak. Sumber pembiayaan lain yang dapat dijadikan alternatif berasal dari investasi asing baik yang berupa penanaman modal asing langsung maupun arus masuk modal swasta lainnya, perdagangan internasional yang bisa diarahkan sebagai motor dari pembangunan, hutang dan bantuan luar negeri.
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pajak dipungut pemerintah sebagai bentuk kewajiban warga negara berkontribusi membangun suatu negara. Pajak dikenakan kepada orang – orang tertentu yang yang memenuhi persyaratan untuk membayar pajak. Sumber pembiayaan pembangunan melalui Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan salah satu komponen aliran modal yang masuk ke suatu negara menunjukkan bahwa penanaman modal asing adalah modal yang relatif stabil dan mempunyai resiko yang kecil dibandingkan aliran modal lainnya, misalnya portofolio investasi ataupun utang luar negeri. Salah satu sebabnya adalah dikarenakan PMA tidak begitu mudah terkena gejolak fluktuasi mata uang (seperti halnya investasi portofolio) ataupun beban bunga yang berat (misalnya utang luar negeri). Sumber pembiayaan pembangunan berupa perdagangan internasional diharapkan dapat menjadi mesin dari pertumbuhan ekonomi. Guna mengembangkan perdagangan internasional, setidaknya diperlukan dua hal yaitu penciptaan persaingan sehat dalam negeri untuk meningkatkan daya saing serta peningkatan akses pasar perdagangan internasional. Sumber pembiayaan pembangunan terakhir berasal dari utang dan bantuan luar negeri. Berdasarkan pengalaman yang panjang, jika pinjaman tidak direncanakan secara matang dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan, tidak dialokasikan secara tepat sasaran dan tidak dimanfaatkan secara efisien, maka utang luar negeri akan dapat menimbulkan masalah besar dan bahkan menyebabkan fiscal unsustainable.

Sumber-Sumber Pembiayaan Pembangunan Indonesia

Berikut ini adalah kajian mengenaik sumber pembiayaan pembangunan yang umum digunakan di Indonesia :
a. APBN
Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari – 31 Desember). APBN, perubahan APBN dan pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. Struktur APBN yang sekarang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia secara garis besar sebagai berikut:
a. Pendapatan Negara dan Hibah
b. Belanja Negara
c. Keseimbangan Primer
d. Surplus/Defisit Anggaran
e. Pembiayaan

b. APBD
Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APB ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai tanggal 1 Januari sampai 31 Desember. Adapun APBD terdiri atas:

1. Anggaran pendapatan, terdiri atas :
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain.
b. Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
c. Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.

2. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah.
3. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun anggaran berikutnya.

c. Hutang/Pinjaman Daerah
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pinjaman Daerah, pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Sumber pinjaman daerah berasal dari pemerintah pusat, Negara donor melaului pemerintah pusat (two step loan), pasar modal dan tabungan masyarakat. Pinjaman daerah dibutuhkan untuk membiayai berbagai kebutuhan dan penyediaan fasilitas. Dalam pinjaman daerah pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman pemerintah dan pemerintah daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan nasional. Batas maksimal kumulatif pinjaman tidak melebihi 60% dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan.

Dalam melakukan pinjaman, daerah wajib memenuhi persyaratan. Persyarataan Pinjaman daerah, meliputi :

  1. Jumlah sisa Pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
  2. Rasio kemampuan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan oleh pemerintah;
  3. Tidak mepunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersal dari pemerintah;
  4. Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain;
  5. Pendapatan daerah dan /atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah;
  6. Proyek yang dibiayai dari Obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi daerah.

d. Publik Private Partenership

Menurut William J. Parente dari USAID Publik Private Partenership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) adalah an agreement or contract, between a publik entity and a private party, under which: a) private party undertakes government function for specified period of time, b) the private party receives compensation for performing the function, directly or idirectly, c) private party is liable for the risks arising from performing the function and, d) the publik facilities, land or other resources may be transferred or made available to the private party.

Sumber :

Direktorat Neraca Pembayaran dan Kerjasama Ekonomi Internasional. Pengembangan Sumber Dana Alternatif untuk Pembiayaan Pembangunan. Jakarta: Bappenas.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2005 Tentang Pinjaman Daerah.

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Hakikat Perumahan Bagi MBR

Definisi Perumahan, Permukiman dan Standar Rumah Layak Huni

Definisi perumahan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 mengenai perumahan dan permukiman adalah perumahan didefinisikan sebagai kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sedangkan kawasan permukiman diartikan sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sehingga, perumahan dan kawasan permukiman dapat didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat.

Menurut Doxiadis (1968), human settlement atau permukiman terdiri dari 5 elemen yang daat dikelompokkan sebagai content (pengisi/manusia) dan container (wadah). Adapun keliman elemen tersebut sebagai berikut :

  1. Shells atau ruang bangunan dari bangunan gedung hingga kelompok yang mencapai skala permukiman, kampung, kota dan aglomerasi fisik wilayah dan tempat tinggal manusia
  2. Network atau jaringan, yang meliputi prasarana tempat manusia berkomunikasi dan jaringan utilitas.
  3. Nature atau alam sebagai natural environment yang terdiri atas elemen biotik dan abiotik.
  4. Man atau manusia sebagai individu dengan segala kepribadian dan identitasnya.
  5. Society atau masyarakat, adalah kumpulan manusia dari keluarga, neighborhood, dan warga dunia yang kompleks dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik.

Dari kelima elemen tersebut, shells, network dan nature dikelompokkan sebagai container (wadah) sedangkan man dan society dikelompokkan sebagai content.

Rumah tidak layak huni pada umumnya erat kaitannya dengan pemukiman kumuh dan banyak dijumpai masyarakat miskin atau masyarakat yang kurang mampu. Rumah tidak layak huni adalah suatu hunian atau tempat tinggal yang tidak layak huni karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian baik secara teknis maupun non teknis. Selain itu, menurut salah satu pengamat masalah mengenai permukiman memberikan pemahamannya ada tiga kriteria rumah layak huni, antara lain aman terhadap gangguan sosial lingkungan, nyaman mencakup aspek kesehatan, dan terjangkau dalam arti sesuai kemampuan daya beli.

Perumahan tidak layak huni adalah kondisi dimana rumah beserta lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial, dengan  kriteria sebagai berikut :

1. Luas lantai perkapita, di kota kurang dari 4 m2 sedangkan untuk di desa kurang dari 10 m2.

2. Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya.

3. Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses.

4. Jenis lantai terbuat dari tanah

5. Tidak mempunyai fasilitas umum misalnya untuk kamar mandi atau MCK.

Rumah atau Hunian sebagai kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan hunian akan terus berkembang seiring perkembangan kehidupan. Permasalahan perumahan adalah permasalahan yang multi dimensi (sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan). Fungsi dasar rumah adalah untuk melindungi diri dari berbagai ancaman bahaya. Persoalan yang biasanya terjadi dalam rumah adalah ukuran rumah yang sempit tidak sesuai dengan kebutuhan penghuni yang ada di dalamnya.

Penyediaan perumahan bersifat inelastis dalam jangka waktu yang lama (O’Sullivan, 2000:400) sebab untuk menyediakan rumah (housing stock) sangat tergantung sekali oleh banyak faktor, antara lain: faktor harga, variasi substitusi rumah di pasar formal, ketersediaan lahan dan kemampuan membangun itu sendiri (Hoag dan Hoag, 1991:61-66). GNPSR (2003) dan RPJPN Bidang Perumahan (2010-2025) menyebutkan ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi sisi penyediaan perumahan yakni penyediaan tanah, penyediaan infrastruktur, pembiayaan, dan kelembagaan.

Kepmen Kesehatan No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal dan Kepmen Kimpraswil No.403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah yaitu:

  1. Bangunan Fisik Rumah:
    1. Bahan bangunan. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan. Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikro organisme patogen.
    2. Atap berfungsi untuk menahan panas, debu, dan air hujan. Penutup atap sebaiknya merupakan bidang datar dan sudut kemiringan atap tergantung dari jenis bahan penutup atap yang dipakai. Bumbungan rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus dilengkapi dengan penangkal petir.
    3. Dinding berfungsi untuk menahan angin dan debu, serta dibuat tidak tembus pandang. Bahan dinding dapat berupa batu bata, batako, bambu, papan kayu. Dinding dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara. Dinding kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah dibersihkan.
    4. Jendela dan pintu berfungsi sebagai lubang angin, jalan udara segar dan sinar matahari serta sirkulasi. Letak lubang angin yang baik adalah searah dengan tiupan angin.
  2. Fasilitas Kelengkapan Bangunan Rumah:
    1. Sarana Air Bersih, tersedia sarana air bersih dengan kapasitas 120 liter/hari/orang. Kualitas air bersih harus memenuhi persyaratan kesehatan. Sekeliling sumur dangkal (gali) diberikan pengerasan dan selokan air agar tempat sekitarnya tidak tergenang air (becek). Jarak sumur terhadap resapan/septik tank harus mencukupi syarat kesehatan.
    2. Limbah dan drainase rumah, air kotor atau air buangan dari kamar mandi, cuci dan dapur disalurkan melalui drainase rumah (selokan) terbuka atau tertutup di dalam pekarangan rumah ke (drainase) selokan air di pinggir jalan. Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, pencemaran terhadap permukaan tanah serta air tanah.
    3. Fasilitas Listrik. Sebagai pencahayaan buatan mutlak diperlukan pada sebuah hunian. Kebutuhan minimal daya listrik untuk rumah sederhana 900 watt/rumah artinya bahwa setiap rumah harus tersedia listrik dengan daya yang mencukupi.

3.   Penataan Bangunan Rumah:

  1. Perancangan Ruang, Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi/cuci/Wc, ruang bermain anak yang letaknya terpisah satu sama lain. Luas ruang sekurang kurangnya 9 m² per orang, bukaan ventilasi 1/9 luas lantai atau minimal 1 m² atau lebih dari 11% luas ruang. Lebih lanjut, parameter yang harus diperhatikan dalam perancangan rumah adalah: kepadatan hunian terutama kamar tidur, pencahayaan terutama dari sinar matahari, penghawaan, jenis lantai, jenis dinding serta jenis bahan bakar yang digunakan dalam rumah tangga.
  2. Kepadatan Hunian Ruang Tidur. Luas ruang tidur minimal 9 m² dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah 5 tahun.
  3. Kepadatan hunian. Satu keluarga yang terdiri dari 5 orang, minimum luas rumah adalah 50 m². Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m²/orang dan untuk mencegah penularan penyakit (misalnya penyakit pernapasan) jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lain minimum 90 cm. Apabila ada anggota yang menderita penyakit pernapasan sebaiknya tidak tidur sekamar dengan anggota yang lain.
  4. Pencahayaan. Untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20 % luas lantai. Kamar tidur sebaiknya diletakkan di sebelah timur untuk memberi kesempatan masuknya sinar ultraviolet yang ada dalam sinar matahari pagi. Jika perletakan jendela kurang leluasa, dapat dipasang genteng kaca karena semua jenis cahaya dapat mematikan kuman, hanya berbeda satu sama lain dari segi lamanya proses mematikan kuman. Agar cahaya matahari tidak terhalang masuk ke dalam rumah, maka jarak rumah yang satu dengan yang lain paling sedikit sama dengan tinggi rumahnya.
  5. Penghawaan. Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan minimum luas lubang ventilasi tetap 5% luas lantai, dan jika ditambah dengan luas lubang yang dapat memasukkan udara lainnya (celah, pintu,jendela, lubang anyaman bambu dan sebagainya) menjadi berjumlah 10% luas lantai. Udara yang masuk sebaiknya udara yang bersih dan bukan udara yang mengandung debu atau bau.
  6. Binatang Penular Penyakit. Tidak ada tikus, kecoa atau binatang pembawa / vektor penyakit bersarang di dalam rumah

Rumah Bagi MBR

Rumah bagi MBR merupakan hasil dari suatu proses keputusan yangmempertimbangkan berbagai kebutuhan dan kemampuan baik secara ekonomi,sosial dan fisik. Rumah harus memenuhi syarat dekat dengan tempat kerja atauberlokasi di tempat yang berpeluang dalam mendapatkan pekerjaan. MBR tidakterlalu mementingkan kualitas fisik rumah asalkan tetap menjamin kelangsungankehidupannya, dan juga tidak memandang pentingnya hak–hak penguasaan atastanah dan bangunan karena rumah dianggap suatu fasilitas (Jo Santoso, et.al,2002:41). Prioritas utama MBR adalah jarak rumah dengan tempat kerja(lokasi) baru status kepemilikan dan lahan serta kualitas adalah prioritasberikutnya (Turner (1971) dalam Panudju (1999:9–12).

Menurut Downs (ed. 2004:1-2) rumah tangga mengeluarkan lebih dari30% bagian pendapatannya untuk perumahan. Inilah yang dikatakan sebagaimasalah afordabilitas/kemampuan dalam perumahan yang diartikan tidak punyakemampuan untuk mengisi tempat tinggal yang kualitasnya layak dengan upayayang lebih besar dalam pemenuhannya. Sehingga kemampuan perumahan(affordable housing) didefinisikan sebagai perumahan dengan kualitas layakdimana rumah tangga berpenghasilan rendah dapat memperolehnya tanpamembelanjakan lebih dari 30% pendapatan mereka. Hal yang sama diemukakanO’Sullivan (2000:413) bahwa harga sewa rumah tidak boleh melebihi 30%pendapatan rumah tangga.

Di Indonesia telah diaplikasikan bentuk penanganan bagi permukiman kurang mampu, yang terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut :

a.Perbaikan Permukiman

Perumahan kurang mampu identik dengan kondisi permukiman kumuh yang tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Masyarakat yang memiliki permukiman kurang mampu berusaha untuk dapat memenuhi standar sesuai dengan norma yaitu sumber daya fisik, sosial dan ekonomi. Dalam hal ini dapat dilakukan dua tindakan yang berupa housing adjustment dan housing adaptation. Housing adjustment memiliki pengertian bahwa penghuni secara aktif menimbulkan perubahan terhadap keadaan rumahnya sebagai usaha memenuhi kebutuhan ketika penghuni merasakan kekurangan pada rumahnya. Sedangkan untuk housing adaptation merupakan perubahan pada diri penghuni tanpa merubah rumahnya sebagai usaha atas  tekanan akibat berbagai kerkurangan yang terdapat pada rumahnya.

b.Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman

Berdasarkan penetapan Dinas Pekerjaan Umum dan Cipta Karya terdapat beberapa bentuk usaha dalam melakukan perbaikan permukiman, sebagai berikut :

  • ™Pemugaran fisik rumah seperti semula
  • Program perbaikan kampong atau Kampung Improvement Program (KIP) bertujuan untuk perbaikan kesehatan lingkungan dengan komponen dasar berbaikan infrastruktur seperti jaringan jalan, saluran drainase dan sanitasi.
  • Perbaikan lingkungan kawasan pasar atau MIP bertujuan untuk perbaikan permukiman disekitar pasar menjadi dampak pasar yang tidak memiliki sarana pendukung, seperti saluran drainase, parkir, dan sampah.
  • Konsolidasi lahan merupakan kegiatan terpadu untuk menata kembali pola kepemilikan tanah pada wilayah yang kurang teratur.
  • Pengembangan lahan terkendali sebagai upaya penatan lanjut dalam pengembangan tata ruang kota. Hal ini bertujuan untuk membangun kondisi iklim partisipatif melibatkan potensi masyarakat terutama pihak swasta.
  • Pembangunan rumah susun yang bertujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota baik secara fisik maupun fungsional dan keuntungan ekonomisnya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat), rumah sehat didefinisikan sebagai  rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi ketetapan atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni rumah dari bahaya atau gangguan kesehatan, sehingga memungkinkan penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Sedangkan rumah inti diartikan sebagai  rumah yang terdiri atas ruangan inti rumah seperti ruang yang terpenting atau hanya atap dan lantai, sedangkan pengembangan selanjutnya diserahkan kepada penghuni.

Menurut Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat), standar rumah sehat sebagai berikut :

  1. Kebutuhan Minimal Masa (penampilan) dan Ruang (luar-dalam)

        Kebutuhan ruang per orang dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas seseorang tersebut meliputi aktivitas  tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci dan masak serta ruang  gerak lainnya. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang adalah 9 m2 dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2.80 m.  Rumah sederhana sehat memungkinkan penghuni untuk dapat hidup sehat, dan menjalankan kegiatan hidup sehari-hari secara layak. Kebutuhan minimum ruangan pada rumah sederhana sehat perlu memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut:

  • ™ Kebutuhan luas per jiwa
  • ™ Kebutuhan luas per kepala keluarga (KK)
  • ™ Kebutuhan luas bangunan per kepala keluarga (KK)
  • ™ Kebutuhan luas lahan per unit bangunan

    2. Kebutuhan Kesehatan dan Kenyamanan

        Rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan dan kenyamanan dipengaruhi oleh 3 aspek, yaitu pencahayaan, penghawaan, serta suhu udara dan kelembaban dalam ruangan. Aspek-aspek tersebut merupakan dasar atau kaidah perencanaan rumah sehat dan nyaman.

      a. Pencahayaan

          Matahari sebagai potensi terbesar yang dapat digunakan sebagai pencahayaan alami pada siang hari. Pencahayaan  yang dimaksud adalah penggunaan terang langit, dengan ketentuan sebagai berikut:

  • ™ Cuaca dalam keadaan cerah dan tidak berawan,
  • ™ Ruangan kegiatan mendapatkan cukup banyak cahaya,
  • ™ Ruang kegiatan mendapatkan  distribusi cahaya secara merata.
  • Sedangkan untuk kualitas pencahayaan alami siang hari yang masuk ke dalam ruangan ditentukan oleh:
  • ™ Kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan (mata),
  • ™ Lamanya waktu kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan (mata),
  • ™ Tingkat atau gradasi kekasaran dan kehalusan jenis pekerjaan,
  • ™ Lubang cahaya minimum sepersepuluh dari luas lantai ruangan,
  • ™ Sinar matahari langsung dapat masuk ke ruangan minimum 1 (satu) jam setiap hari,
  • ™ Cahaya efektif dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00.
  • ™ Tata letak perabotan rumah tangga, seperti lemari, meja tulis atau meja makan,
  • ™ Bidang pembatas ruangan, seperti partisi, tirai masif.

    b. Pengahawaan

         Udara merupakan kebutuhan pokok manusia untuk bernafas sepanjang hidupnya. Udara akan sangat berpengaruh dalam menentukan kenyamanan pada bangunan rumah. Kenyamanan akan memberikan kesegaran terhadap penghuni dan terciptanya rumah yang sehat, apabila terjadi pengaliran atau pergantian udara secara kontinyu melalui ruangan- ruangan, serta lubang-lubang pada bidang pembatas dinding atau partisi sebagai ventilasi. Agar diperoleh kesegaran udara dalam ruangan dengan cara penghawaan alami, maka dapat dilakukan dengan memberikan atau mengadakan peranginan silang (ventilasi silang) dengan ketentuan sebagai berikut:

  • ™ Lubang penghawaan minimal 5% (lima persen) dari luas lantai ruangan.
  • ™ Udara yang mengalir masuk sama dengan volume udara yang mengalir keluar ruangan.
  • ™ Udara yang masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau kamar mandi/WC.
  • Khususnya untuk penghawaan ruangan dapur dan kamar mandi/WC, yang memerlukan peralatan bantu elektrikal-mekanikal seperti blower atau exhaust fan, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  • ™ Lubang penghawaan keluar tidak mengganggu kenyamanan bangunan disekitarnya.
  • ™ Lubang penghawaan keluar tidak mengganggu kenyamanan ruangan kegiatan dalam bangunan seperti: ruangan keluarga, tidur, tamu dan kerja.

    c. Suhu udara dan kelembaban

        Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayaan. Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban normal untuk ruangan dan penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan:

  • ™ Keseimbangan penghawaan antara volume udara yang masuk dan keluar.
  • ™ Pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan perabotan tidak bergerak.
  • ™ Menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas lantai ruangan.

Sumber :

Doxiadis, Constantion A. 1968. Ekistic : An Introduction to the Science of Human Settlement. London : Hutchinson and Co.

Keputusan Menteri Kesehatan No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal.

SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman //