Potensi dan Permasalahan Kecamatan Jepon-Blora

Tulisan ini ada sebagai hasil dari kegiatan study Studio Proses Perencanaan di Kecamatan Jepon… Berdasarkan hasil kegiatan survei primer dan sekunder yang telah dilakukan, jadi Kecamatan Jepon itu . . . . . .  *Let’s check !!!!

SEKILAS KECAMATAN JEPON

Kecamatan Jepon adalah salah satu nama kecamatan dari 16 kecamatan yang ada di Kabupaten Blora. Kecamatan Jepon terletak di bagian utara Kabupaten Blora dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Rembang. Adapun wilayah dari Kecamatan Jepon yang beratasan langsung dengan Kabupaten Rembang adalah Desa Waru. Selain itu, di bagian barat Kecamatan Jepon juga bebatasan langsung dengan Kota Blora. Hal ini menyebabkan Jepon dilalui oleh tipe jalan kolektor primer yang menjadi penghubung antara Blora-Cepu.

Kecamatan Jepon memiliki luas wilayah seluas 107,724 ha dan berada di ketinggian antara 40-500 meter dpl. Jepon memiliki 25 desa atau kelurahan, yang terdiri dari 24 desa dan 1 kelurahan. Adapun nama-nama desa tersebut, yaitu Desa Blungun, Desa Semanggi, Desa Ngampon, Desa Jomblang, Desa Palon, Desa Bangsri, Desa Sumurboto, Desa Brumbung, Desa Turirejo, Desa Semampir, Desa Kemiri, Desa Tempellemahbang, Desa Seso, Desa Balong, Desa Geneng, Desa Nglarohgunung, Desa Kawengan, Desa Gersi, Desa Gedangdowo, Desa Pulegadel, Desa Bacem, Desa Jatirejo, Desa Soko, dan Desa Waru. Sedangkan untuk kelurahannya bernama Kelurahan Jepon. Dalam hal ini, Kelurahan Jepon berfungsi sebagai ibukota dari Kecamatan Jepon sekaligus sebagai pusat aktivitas masyarakat Jepon. Ini disebabkan karena di Kelurahan Jepon terdapat pasar induk Jepon yang sering dipergunakan warga untuk aktivitas perdagangan dan jasa yang mendukung perekonomian. Sehingga perekonomian di Kecamatan Jepon di latar belakangi oleh adanya Pasar Jepon itu sendiri.

Kecamatan Jepon memiliki curah hujan yang relatif lebih rendah dari kecamatan lainnya, yakni hanya 782 mm/bulan atau 78 mm/hari. Kondisi curah hujan yang rendah ini menyebabkan Kecamatan Jepon rawan akan kekeringan. Kekeringan yang ada akan berdampak bagi sistem irigasi sawah yang ada di Jepon dan juga sumber air bersih penduduk Jepon.

Topografi di Kecamatan Jepon terletak pada topografi landai (0-2%) dan curam (>40%). Kondisi topografi ini telah sesuai  karena memang sebagian besar guna lahan di Jepon digunakan sebagai kawasan budidaya (permukiman, lahan persawahan, aktivitas komersial) yang berada di bagian tengah dan kawasan hutan jati yang berada di bagian selatan.

Kecamatan Jepon memiliki luas wilayah total seluas  10.772,38 Ha dengan sebagian besar wilayahnya terdiri dari lahan sawah, tegalan, hutan, bangunan dan lain-lain. Penggunaan lahan terbesar digunakan untuk hutan dengan luas 4.768,915 ha.

Jaringan infrastruktur yang ada meliputi 7 prasarana dasar, yakni jalan, air bersih, persampahan, telekomunikasi, listrik, drainase, dan sanitasi.

a) Jalan

Berikut ini disajikan data terkait dengan beberapa ruas jalan yang ada di Kecamatan Jepon.

Tabel 3

Data Beberapa Ruas Jalan Utama di Kecamatan Jepon

No

Nama Ruas Jalan

Panjang Ruas (km)

Lebar Rata-rata (m)

Kondisi (km)

Baik

Rusak ringan

Rusak

Rusak berat

1

JEPON – KARANG

4,70

4,50

4,70

2

PULEDAGEL – KARANG

3,60

2,50

1,50

2,10

3

BACEM – KARANG

4,40

2,50

4,40

4

SOKO – KARANG

6,00

2,50

6,00

5

SESO – JATIREJO

7,30

4,00

5,80

1,00

0,50

6

JATIREJO – SOKA

3,00

4,00

1,10

1,90

7

SOKA – BTS. KAB. REMBANG

1,75

3,00

1,75

8

JEPON – TURIREJO

1,40

4,00

0,90

0,50

9

TURIREJO – SUMURBOTO

4,10

2,50

4,10

10

TURIREJO – BANGSRI

2,80

4,00

1,70

0,90

0,20

11

SESO – SUMURBOTO

1,30

3,00

1,30

12

TURIREJO – PALON

3,00

2,50

0,80

2,20

13

NGLOBO – BLUNGUN

6,00

2,50

6,00

14

BLUNGUN – PASAR SORE

8,00

2,50

8,00

15

TEMPEL – JIWOREJO

1,40

3,00

1,40

16

JIWOREJO – SINGONEGORO

2,50

3,00

0,80

1,70

17

JATIREJO – MEDANG

3,60

3,00

1,00

2,60

Jumlah

64,85

 

19,70

6,60

10,10

28,45

Sumber: Departemen PU Kabupaten Blora, 2012

Dari data prasarana jalan di atas dapat dilihat bahwa Kecamatan Jepon memiliki jumlah jaringan jalan sebanyak 17 unit, dengan panjang total 64,85 km. Kondisi jalanpun beragam, dimana 19,7 km (30%) berkondisi baik; 6,6 km (10%) memiliki kondis rusak ringan; 10,1 km (16%) kondisi rusak; dan 28,65 km (44%) kondisinya rusak berat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hampir 70% jalan di Kecamatan Jepon dalam kondisi rusak. Sebagian besar jalan desa di Kecamatan Jepon ditemukan dalam kondisi rusak dan berlubang. Tak ada upaya pemerintah untuk memperbaiki jalan tersebut. Oleh karena itu, biasanya warga di setiap desa secara swadaya membetulkan jalan-jalan yang ada. Upaya perbaikan ini dapat dilakukan dengan cara menambal jalan yang berlubang dengan tumpukan batu dan sertu (serpihan batu) dan sedikit timbunan tanah lempung.

b) Air Bersih

Sebagian besar sumber air bersih di Kecamatan Jepon bersumber dari air sumur, baik jenis sumur dangkal maupun dalam. Untuk jenis sumur dangkal, sumber air dapat ditemukan mulai kedalaman 8-9 meter sedang untuk sumur dalam dapat ditemukan sumber air mulai kedalaman 20-30 meter. Kualitas air yang dihasilkan pun beragam, ada yang sudah baik namun ada juga yang masih buruk karena banyak mengandung kapur. Kondisi yang demikian menyebabkan untuk konsumsi sehari-hari perlu dilakukan penyaringan lebih lanjut atau lebih memilih untuk membeli air isi ulang untuk kebutuhan memasak dan minum. Akan tetapi, Pemerintah setempat juga berupaya dalam membantu warga untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Ini tercermin dari seringnya pemerintah memberi bantuan tanki air bersih untuk beberapa desa yang rawan kekeringan terutama untuk musim kemarau.

c) Persampahan

Kecamatan Jepon tidak memiliki TPS. Oleh karena itu, untuk pengelolaan sampahnya masing dilakukan secara tradisional, yakni dengan cara dibakar dan ditimbun. Untuk cara pengelolaan dengan dibakar, yang dibakar berupa sampah-sampah non-organik dan tidak bisa didaur ulang, seperti plastik dan botol-botol. Frekuensi warga dalam membakar sampah juga beragam, ada yang setiap hari, 3 hari sekali, ataupun 1 minggu sekali. Frekuensi pembakaran sampah tergantung dari banyaknya sampah yang dihasilkan oleh setiap rumah.

d) Telekomunikasi

Sebagian desa di Kecamatan Jepon ada yang sudah terjangkau oleh jaringan telepon kabel dan ada yang belum. Namun, untuk saat ini walaupun jaringan telepon kabel sudah ada, banyak warga yang lebih memilih memakai handphone yang dianggap lebih fleksibel dalam kemudahan dan kenyamanan berkomunikasi.

e) Listrik

Hampir semua desa/kelurahan di Kecamatan Jepon telah teraliri listrik. Daya listrik yang digunakan juga beragam, namun yang mendominasi adalah daya listrik 450 dan 900 watt.

f) Drainase

Saluran drainase di Kecamatan Jepon pada umumnya masih menggunakan sistem drainase dengan sistem gravitasi. Sungai merupakan muara akhir dari pembuangan aliran drainase. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya linpasan air sungai di Kecamatan Jepon. Sungai-sungai tersebut masuh tergolong sungai kecil, antara lain Kali Tempellemahbang, Kali Ngaloroh Gunung dan Kali Balong, hanya terdapat sungai besar di Kecamatan Jepon yaitu sungai Lusi.

Namun di sebagian daerah masih banyak ditemukan desa/kelurahan yang belum memiliki saluran drainase. Hanya terdapat sedikit parit-parit kecil di beberapa jalan desa sebagai saluran drainasenya. Hal ini menyebabkan sering terjadinya genangan di beberapa jalan di desa ini jika musim penghujan tiba.

g) Sanitasi

Untuk prasarana sanitasi, di setiap rumah warga telah memiliki memiliki WC dan saptiktank sendiri. Sedangkan untuk jarak antara sumur dan sapitank rata-rata juga sudah sesuai standar.

Fasilitas

Fasilitas yang ada mencakup sarana yang ada di Kecamatan Jepon meliputi sarana transportasi, Perdagangan dan jasa, pendidikan, kesehatan, peribadatan, serta olahraga dan rekreasi.

a) Sarana Transportasi

        Sarana transportasi merupakan sarana yang mendukung aktivitas pergerakan penduduk dari suatu tempat ke tempat lainnya. Di Kecamatan Jepon tidak di temukan angkotan pedesaan, namun masih ada delman yang masih beroperasi sampai sekarang. Di Kecamatan Jepon juga tidak ditemukan adanya terminal, namun yang dapat ditemukan hanya 2 buah halte bus yang ada di Desa Tempellemahbang. Jumlah kendaraan yang melewati ruas-ruas jalan yang ada di Jepon juga beragam. Perbedaan jumlah kendaraan disebabkan adanya perbedaan jam-jam aktivitas, dimana biasanya pada jam 07.00-08.00 yang merupakan jam berangkat dan pulang kerja jenis kendaraan yang banyak lewat adalah sepeda dan sepeda motor. Kedua jenis kendaraan ini merupakan jenis kendaraan yang paling sering digunakan oleh mayoritas penduduk. Jam-jam aktivitas lain adalah pada jam 16.00-17.00 yang merupakan jam pulang kerja. Sedangkan sistem transportasi kelas regional di Kecamatan Jepon dilayani oleh sarana transportasi yang berupa angkutan kota yang menghubungan antar daerah di sekitar Kecamatan Jepon. Sehingga sarana transportasi masyarakat terlayani dengan baik.

b) Sarana Perdagangan dan Jasa

Sarana Perdagangan dan Jasa di Kecamatan Jepon

No

Desa/Kelurahan

Toko

Pasar

Swalayan

1

Blungun

47

0

0

2

Semanggi

 0

0

0

3

Ngampon

10

0

0

4

Jomblang

2

0

0

5

Palon

12

0

0

6

Bangsri

41

0

0

7

Sumurboto

12

0

0

8

Brumbung

20

0

0

9

Turirejo

61

0

0

10

Semampir

5

0

0

11

Kemiri

5

0

0

12

Tempellemahbang

41

1

0

13

Jepon

0

1

1

14

Seso

50

0

0

15

Balong

16

0

0

16

Geneng

14

0

0

17

Nglarohgunung

4

0

0

18

Kawengan

8

0

0

19

Gersi

5

0

0

20

Gedangdowo

38

0

0

21

Puledagel

9

0

0

22

Bacem

8

0

0

23

Jatirejo

6

1

0

24

Soko

6

0

0

25

Waru

7

0

0

JUMLAH

427

3

1

Sumber : Data Monografi Kecamatan Jepon, 2011

c) Sarana Pendidikan

Sarana Pendidikan di Kecamatan Jepon

Nono

 Desa/Kelurahan

TK

SD

SMP

SMA

1

Blungun

4

3

1

0

2

Semanggi

1

2

0

0

3

Ngampon

1

2

0

0

4

Jomblang

2

2

0

0

5

Palon

1

2

0

0

6

Bangsri

1

1

1

0

7

Sumurboto

2

2

0

0

8

Brumbung

2

1

0

0

9

Turirejo

2

2

2

0

10

Semampir

2

2

0

0

11

Kemiri

1

2

0

0

12

Tempellemahbang

1

2

0

1

13

Jepon

8

7

0

0

14

Seso

1

1

1

0

15

Balong

1

1

0

0

16

Geneng

1

2

0

0

17

Nglarohgunung

1

1

0

0

18

Kawengan

2

2

0

0

19

Gersi

1

1

0

0

20

Gedangdowo

2

2

0

0

21

Puledagel

1

2

1

0

22

Bacem

1

1

0

0

23

Jatirejo

1

1

0

0

24

Soko

1

1

0

0

25

Waru

1

1

0

0

JUMLAH

42

46

6

1

  Sumber : Data Monografi Kecamatan Jepon, 2011

d) Sarana Kesehatan

Kelurahan Jepon adalah yang memiliki fasilitas kesehatan terlengkap, dimana di kelurahan ini terdapat rumah sakit, rumah bersalin, puskesmas, dan apotek dimana di desa lainnya rata-rata tidak memilikinya. Selain itu, di Kelurahan Jepon juga memiliki tenaga medis yang jumlahnya memadai, dimana terdapat 4 orang dokter umum. Sedangkan desa yang memiliki keterbatasan jumlah fsailitas kesehatan adalah Desa Gersi dan Nglarohgunung, dimana di kedua desa itu hanya terdapat 1 polindes, 1 posyandu, dan 1 bidan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, penduduk biasanya lebih memilih untuk berobat di Kelurahan Jepon yang memiliki kelengkapan fasilitas kesehatan.

e) Sarana Peribadatan

Sarana Peribadatan di Kecamaatan Jepon

No

Desa/Kelurahan

Masjid

Musolla

Gereja

Vihara

 
 

1

Blungun

4

12

0

0

 

2

Semanggi

1

7

0

0

 

3

Ngampon

2

5

0

0

 

4

Jomblang

1

12

0

0

 

5

Palon

1

14

0

0

 

6

Bangsri

3

15

1

0

 

7

Sumurboto

2

6

0

0

 

8

Brumbung

2

11

0

0

 

9

Turirejo

3

17

0

0

 

10

Semampir

1

9

0

0

 

11

Kemiri

1

14

0

0

 

12

Tempellemahbang

2

9

0

0

 

13

Jepon

4

17

0

0

 

14

Seso

3

5

1

0

 

15

Balong

1

6

0

0

 

16

Geneng

3

5

0

0

 

17

Nglarohgunung

1

4

0

0

 

18

Kawengan

2

16

0

0

 

19

Gersi

1

4

0

1

 

20

Gedangdowo

3

9

0

0

 

21

Puledagel

2

12

0

0

 

22

Bacem

1

6

0

0

 

23

Jatirejo

2

5

0

0

 

24

Soko

1

6

0

0

 

25

Waru

1

4

0

0

 

JUMLAH

48

230

2

1

 

Sumber : Data Monografi Kecamatan Jepon, 2011

f) Sarana Rekreasi

Terdapat 1 lapangan tennis, yakni di desa Tempellemahbang, dan lapangan tennis yang ada hanya berskala kecil. Selain untuk, sarana olahraga keberadaan lapangan-lapangan tersebut juga dapat digunakan sebagai ruang terbuka hijau. Selain itu, dapat pula dijadikan sebagai sarana untuk interaksi sosial antar warga dimana lapangan yang ada sering untuk dijadikan sebagai tempat pertandingan baik antar warga dalam 1 RW maupun antar desa.

Kependudukan

No

Kelurahan/Desa

Data Kependudukan Kecamatan Jepon per Kelurahan/Desa (dalam tahun)

0-4

5-9

10-14

15-19

20-24

25-29

30-34

35-39

40-44

45-49

50-54

55-59

60-64

65-69

70-74

75 +

1

Blungun

146

166

161

110

84

121

124

139

151

124

132

89

63

47

40

57

2

Semanggi

104

106

89

63

78

94

94

88

76

70

52

55

47

30

15

29

3

Ngampon

50

56

61

44

28

32

54

42

54

52

37

35

19

20

8

12

4

Jomblang

119

137

131

103

67

93

98

121

104

90

78

69

54

36

33

51

5

Palon

131

135

105

101

110

118

116

119

93

100

101

66

44

36

20

37

6

Bangsri

108

105

121

87

69

94

104

104

104

108

97

100

49

46

32

62

7

Sumurboto

72

85

82

92

79

88

80

71

61

56

55

40

27

15

19

17

8

Brumbung

116

121

118

97

77

92

110

99

100

101

89

69

30

35

26

29

9

Turirejo

135

153

127

134

98

115

127

108

127

102

105

103

49

34

38

30

10

Semampir

67

74

74

67

58

55

52

58

58

58

69

69

29

12

24

38

11

Kemiri

112

130

130

100

72

92

109

101

102

117

108

64

50

35

22

38

12

Tempellemahbang

123

116

123

127

125

123

145

110

111

132

89

92

43

31

24

43

13

Jepon

449

449

461

366

325

370

394

368

391

383

359

255

142

103

98

141

14

Seso

77

79

72

62

51

79

76

60

66

63

67

45

25

18

17

16

15

Balong

60

55

46

52

46

60

59

46

49

52

41

38

20

11

14

24

16

Geneng

97

86

88

75

56

72

86

89

68

81

74

77

49

21

21

31

17

Nglarohgunung

30

35

36

39

36

37

25

34

34

25

24

23

13

8

3

12

18

Kawengan

81

93

103

72

29

65

73

81

100

83

87

60

25

15

21

37

19

Gersi

37

33

53

26

59

40

35

39

31

35

28

23

19

15

11

12

20

Gedangdowo

88

102

92

87

56

71

75

76

88

84

64

47

25

24

12

22

21

Puledagel

95

87

88

76

50

74

97

60

85

71

55

44

20

20

18

19

22

Bacem

51

71

82

53

45

53

58

58

75

63

53

37

28

16

29

25

23

Jatirejo

40

46

39

38

24

41

47

35

47

51

52

41

18

15

11

14

24

Soko

27

28

28

19

20

34

35

28

23

36

17

14

11

3

3

10

25

Waru

39

40

76

42

32

35

38

55

38

42

46

22

19

6

9

30

JUMLAH

2454

2588

2586

2132

1774

2148

2311

2189

2236

2179

1979

1577

918

652

568

836

Sumber : BPS Kabupaten Blora, 2011

 

Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa untuk jumlah penduduk usia 0-4 tahun paling banyak berada di kelurahan Jepon denga jumlah 449 jiwa disusul oleh desa Blungun dan desa Turirejo dengan masing-masing berjumlah 146 dan 135 jiwa. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan akan sarana kesehatan yang dibutuhkan untuk menjamin kesehatan balita di desa tersebut. Untuk jumlah penduduk usia 5-9 tahun paling banyak terdapat di desa Jepon kemudian disusul desa Blungun dan desa Jomblang. Hal ini berdampak pada kebutuhan akan sarana pendidikan berupa SD untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan.

Kelurahan Jepon masih mendominasi untuk penduduk usia 10-14 tahun disusul oleh desa Blungun dan desa Jomblang dengan masing-masing berjumlah 461, 161 dan 131 jiwa. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan sarana pendidikan SMP sangat dibutuhkan di daerah tersebut. Sedangkan untuk penduduk dengan usia 15-19 tahun terbanyak di Desa Jepon dan selanjutnya disusul oleh Desa Turirejo dan Desa Tempellemahbang. Alhasil kebutuhan akan sarana pendidikan SMA sangat dibutuhkan didaerah ini. Untuk penduduk usia produktif sendiri yaitu usia 20-64 tahun tetap terbanyak di desa Jepon kemudian desa Blungun dan desa Turirejo. Kebutuhan akan jumlah lapangan pekerjaan juga sangat dibutuhkan untuk menampung jumlah penduduk produktif ini. Jumlah penduduk usia lanjut terbanyak berada di Kelurahan Jepon kemudian Desa Blungun dan Desa Bangsri. Untuk itu dibutuhkan sarana kesehatan yang memadai.

Secara keselurahan jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kelurahan Jepon. Hal ini dikarenakan posisi kelurahan Jepon sebagai ibukota kecamatan Jepon yang menyebabkan jumlah penduduk sangat timpang antara desa Jepon dengan desa lainnya di kecamatan Jepon. Berikut adalah tabel jumlah penduduk dirinci berdasarkan desa di Kecamatan Jepon.

Data Kependudukan Per Desa/Kelurahan di Kecamaatan Jepon

Nama Desa/Kelurahan

Laki-Laki

Perempuan

Jumlah

Blungun

1882

1876

3758

Semanggi

1094

1143

2237

Ngampon

686

629

1315

Jomblang

1653

2025

3678

Palon

1480

1395

2875

Bangsri

2906

2924

5830

Sumurboto

853

841

1694

Brumbung

1319

1390

2709

Turirejo

1703

1756

3459

Semampir

998

1015

2013

Kemiri

1521

1528

3049

Tempellemahbang

1711

1161

2872

Jepon

5064

5187

10251

Seso

797

780

1577

Balong

688

674

1362

Geneng

1123

1202

2325

Nglarohgunung

468

429

897

Kawengan

1162

1108

2270

Gersi

503

498

1001

Gedangdowo

1102

1081

2183

Pulegedel

1028

1024

2052

Bacem

872

877

1749

Jatirejo

604

630

1234

Soko

376

387

763

Waru

630

648

1278

  Sumber : BPS Kabupaten Blora, 2011

Dari segi mata pencaharian, Kecamatan Jepon didominasi oleh pekerjaan sebagai petani dan buruh tani diantaranya di Desa Seso, Brumbung, Semampir, Tempellemahbang, dan Kemiri. Hal ini juga disebabkan oleh penggunaan lahan yang sebagian besar digunakan untuk lahan pertanian. Lain hal nya dengan kelurahan Jepon yang sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai pedagang dan dibidang swasta. Hal ini karena penggunaan lahan di kelurahan Jepon di dominasi oleh lahan terbangun sehingga masyarakatnya bekerja di bidang non pertanian. Salah satu hal yang menyebabkannya juga dikarenakan kelurahan Jepon dilewati oleh jalur Blora-Cepu dimana jalur ini sangat strategis yang berdampak pada semakin berkembangnya Kelurahan Jepon menjadi kawasan perdagangan dan jasa.

Berkembangnya kawasan industri di Kecamatan Jepon karena banyaknya migrasi penduduk dari luar wilayah Kecamatan Jepon yang datang. Hal ini dapat terlihat jumlah migrasi di Kecamatan Jepon sebesar 392 jiwa, dengan kepadatan 6,45 per 1000 penduduk. Dengan tingkat kepadatan nomor dua setelah Kecamatan Cepu. (Sumber : BPS Kabupaten Blora, 2009). Adanya industri rokok PT Sampoerna yang terletak di Desa Tempellemahbang, sehingga menarik penduduk dari luar wilayah Kecamatan Jepon untuk bekerja di Kecamatan Jepon. Terjadinya migrasi tidak diimbangi dengan penduduk yang pergi keluar Kecamatan Jepon, ini terlihat dari jumlah penduduk yang meninggalkan Kecamatan Jepon jauh lebih sedikit sehingga tidak mempengaruhi dengan adanya migrasi penduduk. Dari data yang diperoleh jumlah penduduk yang pergi sebesar 178 jiwa, menunjukkan bahwa tingkat kepergian penduduk adalah sebesar 2,93 per 1000 penduduk.

POTENSI DAN PERMASALAHAN

1) Sektor Pertanian

Perkembangan sektor pertanian di Kecamatan Jepon tercermin dari penggunaan lahannya yang sebagian besar dipergunakan sebagai lahan pertanian, baik pertanian lahan basah maupun lahan kering. Jenis pertanian lahan basah yang banyak dikembangkan adalah pertanian padi. Sedang jenis pertanian lahan kering adalah jagung. Komoditas jagung menjadi salah satu komoiditas pengganti padi dikala musim kemarau. Ini disebabkan karena Kecamatan Jepon merupakan salah satu kecamatan yang sering susah air saat musim kemarau datang. Oleh karena itu, untuk tetap mempertahankan mata pencahariannya, penduduk banyak yang beralih untuk menanam jagung yang memerlukan sedikit air di musim kemarau.

Pada Sub sektor kehutanan terutama hutan jati banyak terdapat di Desa Semanggi, Kemiri, dan Waru. Sebagian besar hutan jati yang ada di Kecamatan Jepon adalah milik PT Perhutani. Oleh karenanya, warga tidak bisa secara bebas mengelola dan mengambil hasil hutan yang ada. Namun, kondisi berbeda ada di Desa Semanggi dan Desa Waru, dimana terdapat kerjasama yang saling menguntungkan antara warga dengan PT Perhutani. Di Desa Semanggi, mayoritas penduduk memanfaatkan lahan perhutani sebagai lahan pertanian, yaitu dengan menanam jagung di lahan pohon jati dengan sistem tumpang sari. Sistem tumpang sari yang dilakukan biasanya tergantung dengan usia pohon jati tersebut. Sistem tumpang sari ini hanya dapat dilakukan sampai pohon jati berusia 5 tahun saja dan setelah itu tidak boleh digunakan lagi. Adanya kerjasama antara perhutani dengan penduduk sehingga antar kedua pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Sedang Desa Waru, dimana dahulunya desa ini sangat potensial sebagai salah satu penghasil batu gamping. Akan tetapi, sekarang lahan-lahan gamping yang ada semakin kecil jumlahnya diakibatkan persediaan batu gamping yang sudah semakin sedikit sehingga menjadi tidak produktif. Oleh karena itu, untuk saat ini lahan-lahan yang sudah tidak produktif tersebut dijadikan sebagai hutan jati yang dikelola oleh PT Perhutani. Bibit-bibit jati yang disediakan berasal dari PT Perhutani dan masyarakat sendiri. Pengalih fungsian lahan untuk hutan jati ini berguna untuk menjaga kualitas lingkungan sehingga lahan bekas galian gamping tidak terbengkalai begitu saja.

Adanya sub sektor kehutanan di Kecamatan Jepon berimplikasi bagi berkembangnya sektor perindustrian secara tidak langsung. Ini dapat digambarkan dengan adanya kerajinan bubut kayu jati yang bahan bakunya berasal dari hutan Jepon itu sendiri maupun dari daerah lain. Industri lainnya yang juga turut berkembang adalah adanya industri kerajinan akar kayu jati. Kedua hasil dari kerajinan tersebut ada yang dipasarkan di wilayah lokal maupun di ekspor ke kota lain dan negara lain. Untuk penjualan di wilayah lokal, terdapat pusat penjualan hasil kerajinan di sepanjang jalan kolektor Blora-Jepon. Untuk kota di Indonesia yang menjadi tujuan ekspor seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, sedangkan negara lain yang menjadi tujuan ekspor seperti Autralia, Arab, Eropa, dan Jepang.

Pada Sub sektor tanaman pangan, sebagian besar jenis pertanian yang ada merupakan pertanian dengan sistem sawah tadah hujan, karena sebagaimana diketahui bahwa di unit amatan Kecamatan Jepon sebagian besar wilayahnya akan mengalami kekurangan air ketika musim kemarau datang. Hal ini menyebabkan potensi pertanian yang ada tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal dimana setiap tahunnya hanya mampu dilakukan panen sebanyak 1-2 kali saja. Akan tetapi, keadaan ini dapat sedikit teratasi dengan adanya upaya irigasi melalui cara lain, seperti yang telah dilakukan di Desa Gersi dan Palon. Untuk irigasi sawah di kedua desa tersebut, kedua desa tersebut berusaha untuk memanfaatkan sumur resapan yang berada di lahan persawaahan. Sehingga, saat musim penghujan tiba, air hujan yang jatuh dapat tertampung di sumur-sumur yang mereka buat untuk selanjutnya dijadikan sebagai sumber air untuk irigasi dan cadangan air saat di musim kemarau. Selain pertanian sub sektor tanaman pangan, masyarakat Jepon juga mengupayakan jenis pertanian lainnya, yaitu sub sektor tanaman palawija dan buah-buahan. Jenis komoditas yang sering dikembangkan, seperti tanaman cabai, semangka dan jagung. Tanaman ini dapat dijadikan sebagai komoditas pengganti tanaman padi ketika musim kemarau datang, meskipun hasilnya tidak begitu menonjol.

Pada sub sektor peternakan. Potensi ini terdapat di Desa Semanggi yang berupa peternakan sapi. Sapi-sapi ini dipelihara di setiap rumah penduduk sehingga peternakan yang ada bersifat skala kecil. Meskipun begitu, potensi ini juga merupakan potensi utama di Desa Semanggi karena rata-rata hewan ternak yang dimiliki oleh masyarakat berjumlah lebih dari 2 ekor. Sapi-sapi yang ada biasanya dijual kepada tengkulak setempat yang kemudian dijual keluar Kecamatan Jepon.

Sektor perdagangan dan jasa berkembang karena adanya implikasi dari sektor perindustrian yang berakar dari sektor pertanian. Sektor perdagangan yang ada berkembang dalam bentuk penjualan hasil kerajinan bubut dan akar kayu jati. Sedang untuk sektor jasa berkembang dari adanya para pengrajin-pengarajin bubut dan akar kayu jati yang membutuhkan pelayanan jasa untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Sebagai contohnya adalah jasa telekomunikasi, perhubungan, hiburan dan jasa-jasa yang mengajarkan keterampilan untuk mengubah kayu dan akar kayu menjadi kerajinan yang bernilai jual tinggi.

2) Sektor Pertambangan dan Penggalian

Potensi lain yang terdapat di Kecamatan Jepon adalah sektor pertambangan dan penggalian minyak bumi yang berada di Desa Semanggi. Potensi ini juga tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh penduduk, karena pihak yang melakukan eksplorasi adalah PT Pertamina. Pertamina ini sudah ada di Desa Semanggi sejak jaman Belanda dan kegiatan yang dilakukan adalah pengeboran minyak. Tercatat hampir ada 100 buah sumur tua bekas pengeboran minyak yang dilakukan pertamina dan pada saat ini masih ada 6 buah sumur minyak yang aktif.

Manfaat yang diperoleh penduduk dari adanya potensi ini adalah terciptanya lapangan kerja. Lapangan kerja disini bukan berarti semua penduduk dapat bekerja di Pertamina karena tidak sampai 40% penduduk sekitar dapat bekerja di Pertamina tersebut. Akan tetapi, lapangan kerja yang tercipta adalah dari sumur tua yang ada. Sumur tua yang ada bukan berarti sudah tidak ada minyak bumi lagi di dalamnya, tetapi jumlahnya sudah terbatas. Oleh karena itu, pertamina sudah tidak lagi melakukan penambangan minyak di sumur tua tersebut. Ini disebabkan oleh biaya produksi yang dibutuhkan akan lebih besar jika dibandingkan dengan hasil yang didapat. Minyak bumi yang masih ada kemudian ditambang oleh warga dengan seijin pertamina dan dengan alat yang berasal dari modal sendiri kemudian hasilnya dijual kembali ke Pertamina.

Selain terciptanya lapangan kerja, manfaat yang dirasakan penduduk adalah kepedulian dari PT Pertamina terhadap lingkungan setempat yang terlihat dari adanya bantuan yang diberikan pihak pertamina kepada masyarakat. Bantuan ini berupa CSR (Corporate Social Responsibility) yang meliputi tunjangan kepada desa-desa, pembuatan jalan, pembuatan sekolah, pemberian dana beasiswa kepada murid.

Jejaring Sistem Kota-Kota

Sistem kota-kota adalah suatu sistem yang menggambarkan sebaran kota, fungsi kota-kota dan hierarki fungsional kota-kota yang terkait dengan pola transportasi dan prasarana wilayah lainnya dalam ruang wilayah daerah (Pasal 15 ayat 1, RTRW Provinsi Jawa Tengah 2003-2018). Hirarki kota dimaksudkan untuk dapat menentukan suatu sistem jenjang pelayanan yang dikaitkan dengan pusat-pusat pelayanan (kota) yang ada.

Sistem kota-kota terdiri dari simpul dan jejaring yang muncul akibat adanya keterkaitan antar kota karena adanya aliran berupa uang, barang, jasa, investasi, maupun transportasi. Sistem kota-kota juga dapat muncul dikarenakan setiap kota memiliki potensi dan kekuatan yang berbeda-beda baik dalam aspek ekonomi, kualitas penduduk, distribusi penduduk, sosial, faktor lokasi, dan keberadaan infrastruktur sehingga perlulah untuk dilakukan pengkajian terhadap masing-masing aspek di masing-masing daerah yang membentuk sistem kota-kota guna mengetahui potensi dan dapat menciptakan keseimbangan bagi aliran uang, barang, jasa, investasi, dan transportasi yang terjadi. Sistem kota-kota terbentuk karena adanya suatu simpul utama yang pada akhirnya menjadi bagian suatu sistem perkotaan yang terintegrasi. Adapun faktor yang sangat mempengaruhi perkembangannya adalah karena adanya jalur transportasi utama dan jaringan komunikasi yang menjadi penghubung antar simpul utama. Sistem kota-kota dapat terdiri dari Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) (Pasal 15 ayat 2, Perda Provinsi Jawa Tengah nomor 21 tahun 2003).

Untuk mewujudkan suatu sistem kota yang berkelanjutan, diperlukan adanya implementasi pembangunan kotad dan permukiman. Proses-proses yang ada bersifat lokal dan yang bersifat luas seyogyanya terakomodasi keberadaan dan keterkaitannya. Akan tetapi, pelaksanaan kedua prosesnya harus didasarkan pada kejelasan kedudukan dan fungsinya di dalam proses pembangunan permukiman secara keseluruhan. Pembangunan kota menjadi pemersatu dari tujuan-tujuan yang bersifat lokal maupun luas dari proses pembangunan kota dan mengintegrasikan setiap unsur atau aspek pembangunan kota sehingga permukiman disekitarnya merupakan bagian integral dari keseluruhan tujuan pembangunan kota. Dengan demikian, pembangunan yang bersifat lokal atau memperhatikan suatu kepentingan lokal, tetapi juga memperhatikan dan mengakomodasi kepentingan publik yang lebih luas.

Contoh Kasus : Gelangmanten

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2018, Pemerintah Provinsi membentuk kawasan kerjasama antar daerah yang dipandang dari potensi dan struktur ekonomi kewilayahan dapat dimanfaatkan bagi upaya pemerataan pembangunan dalam suatu kawasan. Tujuan dari pembentukan kerjasama ini adalah daerah dalam satu kawasan saling bekerjasama dan berupaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan. Di dalam Perda ini terdapat suatu kebijakan mengenai pengembangan kawasan kerjasama perbatasan antar daerah. Dan salah satu daerah yang menjadi kawasan pengembangan ini adalah Kabupaten Magelang, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Klaten yang merupakan kabupaten-kabupaten yang terletak di perbatasan  antara Provinsi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta. Perlunya kerjasama antara Gelangmanten tersebut karena Gelangmaten menjadi salah satu kawasan strategis perbatasan yang keberadaan secara fungsionalnya saling terkait, saling tergantung, dan saling melengkapi. Dalam kerjasama ini terjalinlah suatu jaringan sistem kota-kota yang didasarkan pada hierarki kota dimana Kabupaten Sleman menjadi pusat atau mesin penggerak utamanya. Terdapatnya jaringan transportasi yang cukup padat dan berkembang, aliran barang dan jasa serta informasi dan komunikasi antara Kabupaten Magelang – Sleman – Klaten inilah yang menyebabkan kerjasama antar wilayah perbatasan tersebut dapat terjalin.

Pada dasarnya, kerjasama antar daerah perbatasan memiliki tujuan dalam upaya pengembangan kawasan perbatasan dengan memanfaatkan dan memaksimalkan berbagai potensi yang dimilikinya. Pengembangan yang dilakukan pun juga harus mengacu pada pengembangan partisipatif yang berorientasi pada pemberdayaan komunitas lokal melalui pendekatan lintas sektor dan kewilayahan agar keberlanjutan pembangunan wilayah dapat dipertahankan. Pengembangan kawasan perbatasan ini dapat dilakukan melalui upaya pengembangan fisik prasarana antar wilayah secara terpadu karena keberadaan prasarana fisik inilah yang dapat menjadi pendorong perkembangan wilayah perbatasan karena adanya kemudahan dalam keterjangkauan atau aksesibilitas. Dengan adanya kemudahan ini, diharapkan ekonomi yang ada di wilayah perbatasan ini dapat berkembang karena terdapatnya aksesibilitas untuk menuju pusat perekonomian. Beberapa permasalahan yang sering muncul di daerah perbatasan adalah terkait dengan angka kemiskinan yang masih tinggi, kualitas sumber daya manusia yang relatif rendah, produktivitas rendah, keterbatasan fasilitas, tingginya angka migrasi, dan lain-lain. Permasalahan ini rentan muncul dikarenakan letak wilayah perbatasan yang jauh dari pusat kota yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi sehingga menyebabakan wilayah perbatasan rentan akan masalah sosial dan ekonomi.

Secara fisik, Gelangmanten memiliki keseragaman karena sama-sama berada di lereng dan kaki vulkasn serta dataran aluvial Gunung Merapi. Sebagian kawasannya merupakan sabuk mata air dari Gunung Merapi sehingga memiliki potensi hidrologi yang baik. Selain itu, Gelangmanten juga memiliki kesamaan dalam fungsi kawasan, yakni sebagai kawasan strategis untuk konservasi. Namun, karena sifatnya yang lintas daerah keterpaduan fungsi ini sulit untuk dilakukan karena adanya batas administratif. Sedangkan secara non-fisik, kawasan Gelangmanten memiliki potensi yang cukup baik dalam sektor pertanian, industri, pariwisata, dan pendidikan. Dalam kasus ini, Kabupaten Klaten memiliki potensi pertanian yang baik karena menjadi salah satu daerah penghasil utama padi untuk Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Sleman memiliki potensi dalam penghasil buah-buahan, dimana di Sleman terkenal dengan Salak Pondohnya. Sedangkan Kabupaten Magelang berpotensi dalam pertanian sayur-sayuran seperti kobis, tomat, cabai, wortel, dan kacang panjang. Ketiga kabupaten yang tergabung dalam Gelangmanten ini juga berpotensi dalam sektor industri, terutama industri rumah tangga. Industri yang potensial di kawasan ini seperti industri makanan, pengecoran logam, mebel dan ukiran, dan lain-lain. Potensi pariwisata di kawasan Gelangmanten ini, seperti Candi Borobudur, Prambanan, wisata alam, dan agrowisata. Kawasan Gelangmanten juga memiliki potensi jasa pendidikan karena memiliki banyak perguruan tinggi, baik, negeri maupun swasta, seperti UGM, UII, UNY, Universitas Atmajaya, dan lain-lain.

Kawasan Gelangmanten memiliki sistem kota berpola hierarki. Dalam hal ini, Kabupaten Sleman yang notabene merupakan bagian dari Provinsi D.I Yogyakarta berfungsi sebagai pusat perekonomian (centre of growth ) dan tujuan tempat kegiatan penduduk. Kabupaten Sleman menjadi sangat berkembang setelah adanya kebijkan aglomerasi Kota Yogyakarta dengan kabupaten sekitarnya yang terwujud dalam APY (Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta). Keberadaan kawasan APY ini ternyata sangat membantu dalam menumbuhkan ekonomi di masing-masing kabupaten yang tergabung yang berbasis pada keunggulan ekonomi lokal. Meski demikian, tidak hanya kegiatan ekonomi yang tumbuh, tetapi juga potensi kemampuan lahan, kegiatan budidaya serta kecenderungan perkembangan permukiman dan perkotaan.

Sistem kota-kota Gelangmanten yang hierarkis ini juga didukung oleh keberadaan jalur transportasi yang strategis, dimana antara Kabupaten Magelang – Kabupaten Sleman – Kabupaten Klaten telah terhubung oleh jalan arteri primer yang ramai dilalui kendaraan. Di sepanjang jalan ini juga tumbuh berbagai aktivitas perdagangan-jasa sehingga menyebabkan terjadinya aliran barang dan jasa di ketiga kabupaten ini. Jadi, dapat dikatakan pula jika Gelangmanten termasuk dalam sistem kota-kota yang berpola linear, karena kota berkembang di sepanjang jalur transportasi. Jalan serta jembatan-jembatan yang menjadi penghubung ketiga kabupaten ini memiliki kondisi baik. Walaupun begitu, untuk transportasi jika dilihat dari ketersediaan sarana angkutan, ketiga kabupaten ini masih belum maksimal. Karena masih terdapat beberapa daerah yang belum terjangkau oleh angkutan. Angkutan yang ada masih berupa bus-bus kecil dan angkota yang hanya menghubungkan lokal daerah dan belum dapat menjangkau luar wilayah lokal.

Jejaring sistem kota-kota Gelangmanten juga tercermin dalam kerjasama antar ketiga kabupaten dalam bidang kesehatan dan pendidikan, dimana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta terdapat suatu nota kesepakatan dalam bentuk Memory of Understanding (MOU) atau surat kerjasama untuk menyelenggarakan terciptanya kesejahteraan masyarakat secara terpadu. Sebagai contohnya adalah banyak penduduk di wilayah perbatasan Jawa Tengah – DIY yang lebih memilih untuk menyekolahkan anaknya di D.I Yogyakarta dibanding di Jawa Tengah karena mereka menganggap bahwa mutu sekolah di DIY lebih baik dari Jawa Tengah. Selain itu, disebabkan pula oleh uang sumbangan pendidikan di DIY yang lebih murah dibandingkan di Jawa Tengah.

Ketiga kabupaten yang tergabung dalam Gelangmanten juga memiliki jejaring dalam sektor pariwisata. Dalam kasus ini, Kabupaten Magelang memiliki keterkaitan dengan wilayah lainnya seperti Kabupaten Wonosobo, Temanggung, Kota Semarang, Kabupaten Boyolali, Kota DIY sebagai daerah tujuan wisata. Banyak objek wisata yang dapat ditemukan di Kabupaten Magelang, yaitu Candi Borobudur, Candi Pawon, Agrowisata Salak Ngumut, Candi Mendut, Air Terjun Kedung Kayang, dan sebagainya. Di Kabupaten Sleman, terdapat beberapa objek wisata yang juga cukup potensial, seperti objek wisata Kaliurang, Kaliadem, Candi Prambanan, Situs Ratuboko, dan lain-lain.

Sedangkan di Kabupaten Klaten terdapat objek wisata berupa 4 buah candi, 4 buah makam untuk objek wisata, 5 objek pemandian, 1 museum, dan 2 wisata alam yaitu Rowo Jombor dan pegunungan Deles Indah. Keberadaan berbagai tempat pariwisata di ketiga kabupaten ini cukup memberi kontribusi bagi perkembangan perekonomian lokal, karena banyaknya terdapat aliran investasi, barang, jasa, dan informasi yang terjadi. Apalagi dengan didukung oleh keberadaan infrastruktur jalan yang cukup memadai, sehingga membuat kemudahan dalam aksesibilitas pencapaiannya. Walaupun begitu, faktor penghambat kemajuan sektor pariwisata di ketiga kabupaten ini adalah masih kurangnya infrastruktur pendudkung dalam pengembangan objek wisata serta kurangnya pemasaran dari masing-masing tempat wisata yang ada. Selain itu, belum adanya kebijakan pemerintah yang mengatur untuk pengembangan kawasan wisata secara terpadu, sehingga kawasan wisata yang ada di ketiga kabupaten tersebut masih bersifat pribadi untuk pengembangan dan kemajuan internal saja.

Pada dasarnya, sektor pariwisata di ketiga kabupaten tersebut telah memiliki kekuatan sumberdaya lokal yag tinggi karena berbasis pada komunitas lokal dalam pengembangannya. Selain itu, didukung pula oleh fisik dan prasarana yang baik. Di kawasan Gelangmanten juga terdapat potensi wisata untuk dikembangkan karena memiliki objek wisata bertaraf internasional, seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang dapat dijadikan sebagai objek wisata kunci. Objek wisata kunci ini memiliki pengertian bahwa objek wisata ini dapat menjadi daya tarik utama wisatawan untuk berkunjung ke daerah tersebut sehingga secara langsung dapat memberi dampak bagi perekonomian wilayah setempat maupun sekitarnya yang berdekatan.

Wisata-wisata lainnya yang bersifat menyebar karena berada di masing-masing kabupaten juga dapat dijadikan sebagai pendukung pariwisata kunci tersebut dimana pariwisata ini dapat dikemas menjadi paket wisata. Namun, yang menjadi penghambat adalah belum semua objek wisata terutama untuk objek wisata yang berada di lokasi terpencil dapat dijadikan sebagai daerah tujuan paket wisata karena minimnya jalur transportasi dan masih lemahnya kerjasama antar daerah ketiga kabupaten ini untuk mengembangkan sistem pariwisata terpadu. Hal-hal yang dapat dilakukan oleh ketiga kabupaten dalam memaksimalkan potensi yang ada ini adalah dengan melalui peningkatan penyediaan fasilitas pariwisata terpadu seperti jalur transportasi antar objek wisata, komunikasi, penginapan, dan studi kelayakan masing-masing tempat wisata.

Jadi, dari pemaparan diatas, kawasan Gelangmanten merupakan sistem kota-kota yang berpola hierarki dan linear. Berpola hierarki karena antara ketiga kabupaten tersebut memiliki keterkaitan fungsional dengan Kabupaten Sleman sebagai pusatnya atau dapat dikatakan bahwa fungsionalitas yang terbentuk adalah Magelang-Sleman dan Klaten-Sleman. Kabupaten Sleman menjadi pusat karena telah banyak mengalami perkembangan terutama untuk aspek non fisik yang menyangkut perekonomian karena adanya APY (Aglomerasi Perkotaan Yogkayarta) ysng terjalin antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Sleman ini. Jadi, secara langsung Kabupaten Sleman mengalami banyak perubahan dalam perekonomian dan penggunaan lahan sebagai permukiman. Selain itu, akibat dari keberadaan hierarki perkotaan ini, menyebabkan ketiga kabupaten Gelangmanten ini juga mengalami perkembangan kota dengan pola linear karena kota berkembang di sepanjang jalur transportasi. Jalur transportasi ini adalah jalan berjenis arteri primer yang mengubungkan Provinsi DIY dengan Kabupaten Magelang dan Provinsi DIY dengan Kabupaten Klaten. Dengan adanya jalan arteri sebagai jalur transportasi inilah aliran barang-jasa di ketiga kabupaten ini juga menjadi ramai dan berkembang.

Berdasarkan hasil analisis ekonomi, kawasan Gelangmanten memiliki berpotensi dalam sektor pertanian, perdagangan, dan jasa-jasa. Selain itu, kawasan Gelangmanten ini juga memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai objek wisata kunci, karena keberadaan objek wisata lokasinya menyebar di ketiga kabupaten ini. Walaupun begitu, keberadaan sektor pariwisata ini dalam kenyataan saat ini masih kurang dapat berkembang disebabkan belum adanya dukungan transportasi yang memadai untuk menjangkaunya dan lemahnya peran pemerintah dan pihak lokal pengembang wisata untuk dapat mempromosikan dan memasarkan pariwisata melalui kerjasama antar daerah-daerah tersebut.

Hambatan dalam upaya pengembangan Gelangmanten sebagai kawasan strategis di wilayah perbatasan adalah karena belum adanya RTRW yang khusus mengatur wilayah perbatasan. Selain itu, belum adanya pula Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) yang dapat menyatukan visi dan misi masing-masing kabupaten. Selain itu, ketiga kabupaten ini juga belum memiliki iklim yang aman untuk dilakukan investasi. Walaupun jalur transportasi yang ada cukup berkembang, namun aliran barang-jasa yang terjadi masih tertuju pada wilayah pusat yaitu Provinsi DIY sehingga penciptaan iklim investasi di kabupaten sekitarnya (Magelang dan Sleman) masih minim. Oleh karena itu, dibutuhkan peran pemerintah di masing-masing kabupaten intuk dapat memacu pengembangan kawasan melalui pengembangan transportasi, pemantauan kerjasama lintas sektoral dan wilayah, peningkatan operasional pengelolaan kawasan, peningkatan kemampuan ketiga pemerintah untuk mengambil keputusan yang benar terkait dengan peningkatan dan pemantauan dan penegakkan hukum, serta pertimbangan aspirasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan terpadu Gelangmanten.

 

 

 

Sumber :

Anonim. 2008. “Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta dan Trans Jogja”, dalam Buletin Penataan Ruang. http://bulletin.penataanruang.net. Diunduh Senin, 7 Mei 2012.

Cahyadi, Muh. Irsyad, dkk. Tanpa angka tahun. “Model Integrasi Permukiman Pengungsi Kedalam Sistem Permukiman Kota”. http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-10265-Paper.pdf. Diunduh Senin, 7 Mei 2012.

RTRW Provinsi Jawa Tengah 2003-2018.

Zuhri, Mursid. 2001. Kajian Pengembangan Wilayah Jawa Tengah Bagian Selatan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah.

                    . 2003. Studi Model Kerjasama Antar Daerah. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah.

Pariwisata Pesisir Berkelanjutan (Sustainable Coastal Tourism)

Konsep pariwisata pesisir berkelanjutan (sustainable coastal tourism) adalah pariwisata yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan maupun daerah tujuan wisata masa kini, sekaligus melindungi dan mendorong kesempatan serupa di masa yang datang. Pariwisata berkelanjutan mengarah pada pengelolaan seluruh sumberdaya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, estetika dapat terpenuhi sekaligus memelihara integritas kultural, proses ekologi essensial keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan (WTO, 1980).

Dalam pendekatan pariwisata berkelanjutan bukan berarti hanya sektor pariwisata saja yang berkelanjutan tetapi berbagai aspek kehidupan dan sektor sosialekonomi lainnya yang ada di suatu daerah (Butler, 1980). Pariwisata pesisir yang berkelanjutan adalah pariwisata yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, pengembangan pariwisata berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan keramahan lingkungan sekitarnya.

Commonwealth Coastal Action Program (1997) menyatakan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah pengembangan pariwisata yang memperhatikan wilayah konservasi dan perubahan komunitas ekologi yang ditimbulkannya, meliputi perlindungan terhadap satwa liar dan menjaga kualitas kehidupan yang ada di lingkungan tersebut untuk generasi yang akan datang. Lebih lanjut UI, ITB, UGM (1994) menyatakan bahwa penyelenggaraan pengembangan pariwisata harus mengunakan prinsip keberlanjutansecara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumberdaya alam, serta sensitif terhadap budaya masyarakat lokal.

Pengembangan pariwisata harus berpegang pada prinsip-prinsip dasar berikut:

1. Prinsip Keseimbangan

Pengelolaan pariwisata harus didasarkan pada komitmen pola keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial budaya, dan konservasi.

2. Prinsip Partisipasi Masyarakat

Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan usaha pariwisata.

3. Prinsip Konservasi

Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan (alam dan budaya). Pengembangan harus diselenggarakan secara bertanggung jawab dan mengikuti kaidah-kaidah ekologi serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat.

4. Prinsip Keterpaduan

Pengelolaan memperhatikan kondisi ekosistem dan disinergikan dengan pembangunan berbagai sektor.

5. Prinsip Penegakkan Hukum

Pengelolaan pariwisata harus dikembangkan sesuai dengan aturan-aturan yang ada, serta dilaksanakan dengan penegakan hukum maupun peraturan yang berlaku untuk menjamin kepastian hukum dalam pengelolaan pariwisata.

 

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: Km. 67/Um.001/Mkp/2004 tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata menyatakan bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan saat ini dengan tetap menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan kebutuhan di masa yang akan datang. Pembangunan pariwisata berkelanjutan dicitrakan menjadi patokan dalam pengaturan sumberdaya sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika tercapai, dengan tetap menjaga integritas budaya proses-proses dan keanekaragaman hayati. Selanjutnya, pariwisata berkelanjutan dapat dicapai bila pertumbuhan yang selaras antara ekologi, ekonomi dan sosial serta instansi-instansi yang terkait.

Transportasi Berkelanjutan (Sustainable Transportation)

Beberapa tahun belakangan ini, sektor transportasi merupakan penyumbang terbesar konsumsi energi diperkotaan, yakni sebesar 23% dari emisi CO2 yang dihitung secara global pada tahun 2007. Adanya peningkatan akan kebutuhan transportasi, memberi dampak bagi pengeluaran emisi yang juga akan terus meningkat dalam dekade mendatang, kecuali ada langkah-langkah kebijakan yang tepat diperkenalkan. Sementara itu, bahan bakar fosil yang tak dapat diperbaharui juga akan menjadi langka dalam dekade mendatang. Transportasi yang tidak berkelanjutan atau tanpa pengaturan khusus dapat menyebabkan polusi udara, kebisingan, kecelakaan dan efek samping negatif lainnya yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Efek ini sangat relevan di daerah perkotaan, dimana saat ini sekitar 50% dari populasi dunia dari 6,9 miliar orang hidup di kota-kota. Hal ini akan meningkat menjadi hampir 70% pada tahun 2050. Guna mengantisipasi hal tersebut, perlu ada upaya untuk mewujudkan transportasi yang berkelanjutan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan meningkatkan keamanan energi, mempercepat pertumbuhan dukungan ekonomi, dan menambah interaksi sosial antar pengguna.

Istilah transportasi berkelanjutan sendiri berkembang sejalan dengan munculnya terminologi pembangunan berkelanjutan pada tahun 1987 oleh World Commission on Environment and Development, United Nation). Secara khusus, transportasi berkelanjutandiartikan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan mobilitas transportasi generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mobilitasnya. OECD (1994) juga mengeluarkan definisi mengenai sustainable transportation, yakni suatu suatu transportasi yang tidak menimbulkan dampak yang membahayakan kesehatan masyarakat atau ekosistem dan dapat memenuhi kebutuhan mobilitas yang ada secara konsisten dengan memperhatikan (a) penggunaan sumberdaya terbarukan pada tingkat yang lebih rendah dari tingkat regenerasinya dan (b) penggunaan sumber daya tidak terbarukan pada tingkat yang lebih rendah dari tingkat pengembangan sumberdaya alternatif yang terbarukan.

Pendapat lain mengenai definisi sustainable transportation muncul dari Brundtland Commission dalam CAI-Asia (2005), dimana lembaga ini mendefinisikan sustainable transportation sebagai kumpulan kegiatan transportasi bersama dengan infrastruktur yang tidak meninggalkan masalah atau biaya-biaya untuk generasi mendatang guna menyelesaikannya dan menanggungnya. Sedang World Bank (1996) mendefinisikan sustainable transportation sebagai transportasi yang melayani tujuan utama sebagai penggerak ekonomi wilayah perkotaan dan perkembangan sosial. Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dengan sustainable transportation diharapkan ada penggunaan moda transportasi dan infrastruktur transportasi lain yang bekerja secara bersama-sama guna memperlancar kegiatan transportasi serta menggerakkan ekonomi wilayah namun tidak meninggalkan masalah di masa mendatang.

Dalam menciptakan transportasi yang berkelanjutan, harus memperhatikan berbagai indikator yang ada agar bisa bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Indikator yang ada juga dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan penerapan transportasi berkelanjutan di suatu negara/wilayah/kota. Menurut Beela (2007) indikator sustainable transportation, meliputi :

  1. Keamanan perjalanan bagi pengemudi dan penumpang 
  2. Penggunaan energi oleh moda transportasi
  3. Emisi CO2 oleh moda transportasi
  4. Pengaruh transportasi terhadap lingkungan sekitar
  5. Kesenangan dan kenyaman menggunakan moda transportasi
  6. Emisi dari bahan beracun dan bahan kimia berbahaya serta polusi udara dikarenakan penggunaan moda transportasi.
  7. Guna lahan bagi moda trasnportasi seperti lahan parkir
  8. Gangguan terhadap wilayah alami oleh moda transportasi atau infrastruktur lainnya.
  9. Polusi suara oleh moda transportasi

 

Contoh Kota dengan Sistem Transportasi Berkelanjutan

Curitiba adalah salah satu kota di Brazil telah berhasil dalam menerapkan sistem perencanaan transportasi yang hemat energi melalui penyediaan transportasi publik yang efisien. Penyediaan transportasi berkelanjutan di Curitiba ini telah banyak menginspirasi berbagai kota lain di dunia untuk menciptakan transportasi publik yang mampu melayani seluruh penduduk dengan efektif, efisien, dan ramah lingkungan.

Pertumbuhan Kota Curitiba menjadi semakin pesat setelah tahun 1950 sejalan dengan perkembangan kota ini menjadi wilayah hubungan perdagangan dan jasa. Pertumbuhan kota yang tidak terkendali mendorong perencanaan kota yang ditekankan pada transportasi dan penghijauan lingkungan. Perencanaan kota pertama kali di Curitiba hanya pada pengembangan jalan-jalan dan fasilitas kota seperti pusat rekreasi dan industri. Namun, hingga tahun 1970 Curitiba masih mengalami permasalahan ancaman ledakan penduduk yang menjadikan kota ini mengalami fenomena kemacetan dan banjir. Curitiba sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan tercepat di Brazil, dengan laju pertumbuhan sekitar 5,7% per tahun menyebabkan kurangnya terhadap pelayanan sosial, perumahan, sanitasi, lingkungan, dan transportasi dalam kota.

Dengan berbagai masalah yang muncul, tahun 1961, walikota baru Curitiba, J. Lerner mencoba merubah sistem transportasi Curitiba. Hal pertama yang diubah adalah desain tata kota yang semula terpusat menjadi linear. Curitiba tidak tumbuh di segala arah dari pusat   atau inti kota, melainkan tumbuh di sepanjang koridor dalam bentuk linier. Jantung kota gedung-gedung komersial, pemerintahan, pendidikan atau bisnis diletakkan dalam satu situs, sementara tempat tinggal penduduk dibuat mengitari. Struktur kota yang linier merupakan model spasial yang dapat digunakan untuk mencapai keberlanjutan karena terjadi penghematan energi dengan mengurangi waktu perjalanan.

Pemerintah Kota Curitiba membangun jalan-jalan penghubung dari tempat tinggal penduduk langsung menuju pusat kota. Dalam urusan transportasi, Curitiba menerapkan Trinary Road System. Ini adalah model jalanan yang menggunakan dua jalur jalan besar yang berlawanan arah. Namun, yang istimewa, ada dua jalur sekunder di tengah yang dimanfaatkan sebagai jalur ekslusif untuk busway. Hampir semua jalanan di Curitiba menerapkan sistem ini.  Jalan raya yang diubah menjadi rute bus telah memacu perumahan dengan kepadatan tinggi seperti pembangunan apartemen di sepanjang jalur peregangan.Dengan mengubah jalan raya menjadi rute bus, perencana kota harapan untuk memacu perumahan kepadatan tinggi di daerah tersebut.

Selain itu, untuk mengurangi permasalahan transportasi pemerintah Curitiba juga berupaya untuk membuat perencana perkotaan dengan menciptakan Master Plan perkotaan yang akan memberikan prioritas kepada pelayanan publik seperti sanitasi, mengurangi kemacetan lalu lintas dan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan sosial dan ekonomi. Transportasi merupakan komponen kunci dalam rencana, yang disebut untuk ekspansi perkotaan linier di sepanjang jalur transit. Pada tahun 1971 sebuah Mass Transit Rencana Terminal dikembangkan dan pada tahun 1974 sebuah bus rapid transit (BRT) jalur, yang pertama dari jenisnya, mulai beroperasi di sepanjang koridor utama kota. Pada tahun 1982 semua lima dari koridor inti kota telah selesai.

Curitiba secara luas diakui telah memelopori bus rapid transit (BRT) sebagai solusi yang terjangkau untuk mengangkut masalah dalam mengembangkan dan kota transisi. Hal ini juga menunjukkan praktek terbaik dalam pembuatan kebijakan informasi, dengan tingkat tinggi kesadaran politik, dan komitmen untuk, prinsip non transportasi mobil-berorientasi perencanaan.

BRT adalah alat transportasi utama yang menyenangkan dan menjadi keunggulan. Sistem busway itu direncanakan berdasarkan rencana induk kota yang bertujuan untuk menahan laju urban sprawl, menekan volume lalu lintas kendaraan bermotor yang masuk ke pusat kota, melestarikan bagian kota yang bersejarah, dan membangun sistem transportasi umum yang nyaman dan terjangkau. Prinsip utama yang dipergunakan adalah pembangunan kota yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia, bukan mobil.

Sebuah sistem busway diperkenalkan ke Curitiba pada tahun 1974, sebagai bagian dari paket reformasi untuk transportasi dan perencanaan penggunaan lahan, menggantikan sistem kacau rute paratransit tidak diatur. Ini menghasilkan peningkatan tahunan 2,36% pada patronase bus, dan penurunan dalam lalu lintas jalan 30% selama pertama 30 tahun beroperasi.

Salah satu keunikan BRT Curitiba ini adalah ketika berhenti dan pintu terbuka, papan pijakan dari bus ikut terbuka dan menutup celah antara lantai bus dan lantai halte (Eryudhawan, 2009). Desain seperti ini sangat aman untuk pergerakan keluar masuk penumpang sehingga sangat aman digunakan bagi bagi penyandang cacat, orang tua, dan anak-anak. Setelah sepuluh tahun, kota mengambil kontrol bus dan menggunakannya untuk transportasi ke taman-taman, atau sebagai sekolah berjalan. Jalur pemberhentian BRT berbentuk silinder/tabung. Tabung tersebut memberikan perlindungan dari unsur-unsur luar dan memfasilitasi beban simultan dan bongkar muat penumpang, termasuk kursi roda.

Negara Brazil sendiri, dianggap sebagai negara yang pertama kali memberlakukan ekonomi bahan bakar bio secara berkelanjutan sehingga dijadikan model bagi beberapa negara lain. Etanol dari gula yang dihasilkan negara ini merupakan bahan bakar alternatif. Pada saat ini tidak ada lagi kendaraan kecil di Brazil yang hanya menggunakan bahan bakar bensin saja. Sejak tahun 1976, pemerintah mewajibkan semua mobil di Brazil harus bisa menggunakan bahan bakar campuran etanol dengan bensin, yang besarannya beragam, mulai dari 10%-22%.

Jika disimpulkan, munculnya transportasi berkelanjutan di Brazil dapat tercipta karena adanya integrasi antara peran pemerintah dan dukungan kesadaran penduduk setempat. Di negara Brazil, ini dapat terlihat dari adanya kebijakan pemerintah Brazil yang selalu berupaya menciptakan sistem transportasi publik yang ramah lingkungan dimana dengan adanya transportasi publik ini diharap akan dapat meminimalkan penggunaan kendaraan pribadi yang secara langsung berdampak bagi penurunan gas emisi. Selain itu, dengan menggunakan potensi yang dimiliki, pemerintah berupaya menciptakan bahan bakar alternatif berupa bioetanol yang ternyata dapat diterima di masyarakat. Dengan kebijakan ini, ternyata ada banyak pihak yang mendukung upaya ini melalui penciptaan kendaraan-kendaraan dengan bahan bakar bioetanol ini. Kesadaran masyarakat Brazil untuk mau menggunakan transportasi publik, seperti metro dan BRT dapat muncul karena adanya kenyamanan dan keamanan yang terlebih dulu diciptakan oleh pemerintah melalui penyediaan transportasi publik yang baik, dilengkapi pula dengan infrastruktur yang memadai dan tidak mengganggu pengguna lainnya.

Keberhasilan negara Brazil dalam mewujudkan transportasi yang berkelanjutan melalui transportasi publik yang ramah lingkungan menggambarkan bahwa dengan penciptaan sistem transportasi yang baik dan terintegrasi akan mampu mengakomodir kebutuhan segala kalangan yang tentunya akan berdampak bagi aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dengan penyediaan sistem transportasi yang memadai dan berkelanjutan, maka secara tak langsung pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat meningkat karena adanya efisiensi biaya, waktu dan jumlah energi yang digunakan. Secara sosial, transportasi berkelanjutan dapat mempererat dan menambah hubungan sosial antar pengguna moda transportasi karena pengguna akan semakin mengerti dengan kondisi pengguna transportasi lainnya. Dan secara lingkungan, transportasi berkelanjutan akan mampu mengurangi tingkat emisi atau polusi udara yang dampak jangka panjangnya dapat berpengaruh untuk peningkatan kondisi kesehatan dan angka harapan hidup penduduk karena membaiknya kualitas udara yang mereka hirup.

 

 

Read this for More Informations :

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahan_bakar_etanol_di_Brazil

http://www.dismantle.org/curitiba.htm

http://infrastructureglobal.com/megacity-sustainable-transportation-system-sao-paulo-mass-transit-systems-brazil

http://sustainablecitiescollective.com/thecityfix/17772/cities-focus-curitiba

http://en.wikipedia.org/wiki/Curitiba_Master_Plan#Urban_planning

http://www.wri.org/stories/2011/06/time-sustainable-transport-brazilian-cities