Top Down dan Bottom up Planning

Perencanaan dengan sistem “TOP DOWN PLANNING” artinya adalah perencanaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan sebagai pemberi gagasan awal serta pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program yang berwal dari perencaan hingga proses evaluasi, dimana peran masyarakat tidak begitu berpengaruh

Kelemahan :

  1. Masyarakat tidak bisa berperan lebih aktif dikarenakan peran pemerintah yang lebih dominan bila dibanding peran dari masyarakat itu sendiri.
  2. Masyarakat tidak bisa melihat sebarapa jauh suatu program telah dilaksanakan.
  3. Peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil dari suatu program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program tersebut dari awal hingga akhir.
  4. Tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada masyarakat tidak terwujud dikarenakan pemerintah pusat tidak begitu memahami hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat.
  5. Masyarakat akan merasa terabaikan karena suara mereka tidak begitu diperhitungkan dalam proses berjalannya suatu proses.
  6. Masyarakat menjadi kurang kreatif dengan ide-ide mereka.

Kelebihan :

  1. Masyarakat tidak perlu bekerja serta memberi masukan program tersebut sudah dapat berjalan sendiri karena adanya peran pemerintah yang optimal.
  2. Hasil yang dikeluarkan bisa optimal dikarenakan biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh pemerintah.
  3. Mengoptimalkan kinerja para pekerja dipemerintahan dalam menyelenggarakan suatu program.

 

Perencanaan dengan sistem “BOTTOM UP PLANNING” artinya adalah perencanaan yang dilakukan diaman masyarakat lebih berperan dalam hal pemberian gagasan awal sampai dengan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan sedangkan pemerintah pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam suatu jalannya program.

Kelebihan :

  1. Peran masyarakat dapat optimal dalam memberikan masukan atau ide-ide kepada pemerintah dalam menjalakan suatu program.
  2. Tujuan yang diinginkan oleh masyarakat akan dapat berjalan sesuai dengan keinginan masyrakat karena ide-idenya berasal dari masyarakat itu sendiri sehingga masayarakat bisa melihat apa yang diperlukan dan apa yang diinginkan.
  3. Pemerintah tidak perlu bekerja secara optimal dikarenakan ada peran masyarakat lebih banyak.
  4. Masyarakat akan lebih kreatif dalam mengeluarkan ide-ide yang yang akan digunakan dalam suatu jalannya proses suatu program.

Kelemahan :

  1. Pemerintah akan tidak begitu berharga karena perannya tidak begitu besar.
  2. Hasil dari suatu program tersebut belum tentu biak karena adanya perbadaan tingkat pendidikan dan bisa dikatakn cukup rendah bila dibanding para pegawai pemerintahan.
  3. Hubungan masyarakat dengan pemerintah tidak akan berlan lebih baik karena adanya silih faham atau munculnya ide-ide yang berbeda dan akan menyebabkan kerancuan bahkan salah faham antara masyarakat dengan pemerintah dikarenakan kurang jelasnya masing-masing tugas dari pemerintah dan juga  masyarakat.

Bila dilihat dari kekurangan serta kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing sistem tersebut maka sitem yang dianggap paling baik adalah suatu sistem gabungan dari kedua janis sistem tersebut karena banyak sekali kelebihan yang terdapat didalamya antara lain adalah selain masyarakat mampu berkreasi dalam mengembangkan ide-ide mereka sehingga mampu berjalan beriringan bersama dengan pemerintah sesuai dengan tujuan utama yang diinginkan dalam mencapai kesuksesan dalam menjalankan suatu program tersebut.

Bentuk dan Struktur Ruang Kota

Bentuk Kota

Kota merupakan suatu komponen yang memiliki unsur yang terlihat nyata secara fisik seperti perumahan & prasarana umum, hingga komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat yaitu berupa kekuatan politik & hukum yang mengarahkan kegiatan kota (Melville C. Branch, 1984:154). Rossi, Aldo (1982) dalam bukunya yang berjudul The Architecture of the city, Kota didefinisikan sebagai objek buatan manusia dalam sekala besar dan dipandang sebagai sebuah arsitektur yang berupa konsentrasi elemen-elemen fisik spasial yang tumbuh dan berkembang.

Sesuai dengan bentukan alam kota terbentuk secara topografis, morfologi berwawasan lingkungan dan respon lansekap. Sedangkan sesuai dengan pertumbuhan karakteristiknya kota terbentuk secara sosial dan ekonomi, mengakomodasi kegiatan penduduk dengan efektif dan efisien. Berikut ini merupakan bentuk-bentuk kota

  1. Bentuk Bujur Sangkar (The Square city)Kota berbentuk bujur sangkar menunjukan adanya kesempatan perluasan kota ke segala arah yang “relatif” seimbang dan kendala fisikal “relatif” tidak begitu berarti. Hanya saja, adanya jalur transportasi pada sisi-sisi memungkinkan terjadinya percepatan pertumbuhan areal kota pada arah jalur yang bersangkutan.                                                 
  2. Bentuk Empat Persegi Panjang (The Rectangular Cities) = Melihat bentuknya sudah terlihat jelas bahwa dimensi memanjang sedikit lebih besar daripada dimensi melebar. Hal ini dimungkinkan timbul karena adanya hambatan-hambatan fisikal terhadap perkembangan areal kota pada salah satu sisi-sisinya.Hambatan-hambatan tersebut antara lain dapat berupa lereng yang terjal, perairan, gurun pasir, hutan, dan lain sebagainya. “Space” untuk perkembangan arealnya cukup besar baik melebar maupun memanjang.                                                     
  3. Bentuk Kipas (Fan Shaped Cities)Bentuk semacam ini sebenarnya merupakan bentuk sebagian lingkaran. Dalam hal ini, ke arah luar lingkaran kota yang bersangkutan mempunyai kesempatan berkembang yang relatif seimbang. Oleh sebab-sebab tertentu pada bagian-bagian lainnya terdapat beberapa hambatan perkembangan areal kekotaannya yang dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu Hambatan-hambatan alami (natural constraints), misalnya perairan, pegunungan ; Hambatan-hambatan artificial (artificial constraints), misalnya saluran buatan, zoning, ring road
  4. Bentuk Bulat  (Rounded Cities) = Bentuk kota seperti ini merupakan bentuk paling ideal daripada kota. Hal ini disebabkan karena kesempatan perkembangan areal ke arah bagian luarnya sama. Tidak ada kendala-kendala fisik yang berarti pada sisi-sisi luar kotanya. Pada bagian-bagian yang terlalu lambat perkembangannya, dipacu dengan peraturan-peraturan misalnya “Planned Unit Development” sedang untuk bagian-bagian yang terlalu cepat perkembangan areal kekotaannya dapat dihentikan, misalnya dengan “Devolopment Moratoria”. Batas terluar dari pada kotanya ditandai dengan “green belt zoning” atau “growth limitation” dengan “ring roads”. Dengan demikian terciptalah bentuk bulat artifisial.
  5. Bentuk Pita (Ribbon Shaped Cities)Sebenarnya bentuk ini juga mirip “rectangular city” namun karena dimensi memanjangnya jauh lebih besar dari pada dimensi melebar maka bentuk ini menempati klasifikasi tersendiri dan mengambarkan bentuk pita. Dalam hal ini jelas terlihat adanya peranan jalur memanjang (jalur transportasi) yang sangat dominan dalam mempengaruhi perkembangan areal kekotaannya, serta terhambatnya perluasan areal ke samping. Sepanjang lembah pegunungan, sepanjang jalur transportasi darat utama adalah bagian-bagian yang memungkinkan terciptanya bentuk seperti ini. “Space” untuk perkembangan areal kekotaannya hanya mungkin memanjang saja.
  6. Bentuk Gurita / Bintang (Octopus/Star Shaped Cities) = Peranan jalur transportasi pada bentuk ini juga sangat dominan sebagaimana dalam “ribbon-shaped city”. Hanya saja, pada bentuk gurita jalur transportasi tidak hanya satu arah saja, tetapi beberapa arah ke luar kota. Hal ini hanya dimungkinkan apabila daerah “hinterland” dan pinggirannya tidak memberikan halangan-halangan fisik yang berarti terhadap perkembangan areal kekotaanya.
  7. Bentuk Yang Tidak Berpola (Unpatterned Cities) = Kota seperti ini merupakan kota yang terbentuk pada suatu daerah dengan kondisi geografis yang khusus. Daerah di mana kota tersebut berada telah menciptakan latar belakang khusus dengan kendala-kendala pertumbuhan sendiri. Sebuah cekungan struktural dengan beberapa sisi terjal sebagai kendala perkembangan areal kekotaannya, sangat mungkin pula ditempati oleh suatu kota dengan bentuk yang khusus pula. Contohnya adalah sebuah kota pulau yang mempunyai bentuk khusus, karena perkembangan arealnya terhambat oleh laut dari berbagai arah.

 

Struktur Ruang Kota

Menurut Hadi Sabari Yunus secara garis besar terdapat tiga macam proses perluasan area perkotaan menjadi lebih terstruktur, yaitu sebagai berikut :

  1. Teori konsentris dapat dikatakan bahwa kota meluas secara merata dari suatu inti asal, sehingga tumbuhlah zona-zona yang masing-masing meluas sejajar dengan pentahapan kolonisasi ke arah zona yang letaknya paling luar. Dengan demikian dapat ditemukan sejumlah  sejumlah zona yang letaknya konsentris, sehingga strukturnya bergelang. Dalam kenyataannya zona-zona konsentris ini tidak dapat ditemukan dalam bentuknya yang murni. Konsentrasi pelayanan berada di suatu pusat, dengan jaringan transportasi yang terarah ke suatu titik.
  2. Teori Sektoral. Menurut Hommer Hoyt (1939), pengelompokkan tata guna lahan di kota menyebar dari pusat ke arah luar berupa sektor. Hal ini disebabkan oleh sifat masyarakat kotanya, latar belakang ekonomis, kondisi fisik geografis kotanya, serta rute pengangkutan. Namun pada dasarnya teori ini merupakan modifikasi dari teori konsentris Burgess. Dari teori ini, terjadi proses penyaringan (filtering process) dari penduduk yang tinggal pada sektor-sektor yang ada.
  3. Teori inti ganda (multiple nuclei). Menurut Harris dan Ullman (1945), pola konsentris dan sektoral itu akan ada, namun dalam kenyataannya sifatnya lebih rumit lagi. Pertumbuhan kota mulai dari intinya dirumitkan lagi oleh adanya beberapa pusat tambahan. Di sekeliling suatu inti tata guna lahan yang saling bertalian, munculah sekelompok tata guna tanah yang akan menciptakan suatu struktur perkotaan yang memiliki sel-sel pertumbuhan lengkap. Teori ini disebut teori multiple nuclei yang sifatnya serba akurat, tertib, dan fleksibel. Pembentukan inti-inti ganda merupakan gejala lanjut dari kota yang berpola sektoral, sedangkan makin menuju ke kota makin jelas adanya pola konsentris teori inti ganda ini sesuai dengan keadaan kota-kota besar.

Penyebab Banjir Kota Semarang

Banjir merupakan fenomena alam yang terjadi sejak dulu hingga saat ini belum menemukan permasalahan. Secara umum banjir dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor manusia sendiri. Faktor alam meliputi topografi, jenis tanah, kondisi geologi, geomorfologi dan potensi hutan. Selain itu juga faktor manusia yaitu seperti halnya yang terjadi di Kota Semarang, dipengaruhi oleh lima potensi terjadinya banjir (Pramono SS, 2002) yaitu sebagai berikut :

  • Karakteristik geografis, Kota Semarang memiliki daerah-daerah potensi banjir karena adanya perbedaan tinggi dataran antara wilayah utara dan wilayah selatan. Kondisi ini terjadi karena adanya banjir kiriman dari wilayah selatan Kota Semarang dan kabupaten Semarang.
  • Perubahan pemanfaatan lahan dari hutan karet menjadi perumahan di wilayah kecamatan Mijen memperbesar kerusakan di daerah tersebut. Akibatnya jumlah air hujan yang mengalir ke wilayah Ngaliyan menjadi bertambah dan membuat daerah tersebut terkena musibah banjir, padahal daerah tersebut belum pernah terkena banjir. Selain penggundulan hutan, perubahan fungsi lahan yang terjadi di wilayah Kabupaten Semarang dari areal pertanian menjadi areal perumahan baru. Penyebab lain, banyak sungai di daerah Kabupaten Semarang melewati Kota Semarang.
  • Pengeprasan bukit di beberapa tempat mengakibatkan perubahan pola aliran air, erosi, dan mempertinggi kecepatan air, sehingga membebani daerah pengairan.
  • Pembangunan rumah liar di atas bantaran sungai, pembuatan tambak yang mempersempit sungai dan penutupan saluran di daerah hilir.
  • Permasalahan non-teknis yaitu perilaku masyarakat kota Semarang yang buruk. Perilaku membuang sampah di saluran dan di sembarang tempat. Rendahnya kesadaran masyarakat kota ditunjukkan dengan adanya banjir di beberapa jalan protokol kota Semarang, akibat adanya saluran yang tersumbat, namun masyarakat tidak segera mengatasinya melainkan menunggu petugas dari pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi permasalahan pada saluran tersebut.

Menurut Kodoatie RJ. dan Sjarief R. (2005), terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan banjir, yaitu perubahan tata guna lahan (land-use) di daerah aliran sungai, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai maupun drainase, perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat, curah hujan, pengaruh kapasitas sungai, kapasitas drainase yang tidak memadai, pengaruh air pasang, penurunan tanah dan rob, drainase lahan, bendung dan bangunan air, serta kerusakan bangunan pengendali banjir. Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir dibandingkan dengan penyebab yang lainnya.

 

Perhitungan LOS (Level Of Service)

LOS (Level of Service) atau tingkat pelayanan jalan adalah salah satu metode yang digunakan untuk menilai kinerja jalan yang menjadi indikator dari kemacetan. Suatu jalan dikategorikan mengalami kemacetan apabila hasil perhitungan LOS menghasilkan nilai mendekati 1. Dalam menghitung LOS di suatu ruas jalan, terlebih dahulu harus mengetahui kapasitas jalan (C) yang dapat dihitung dengan mengetahui kapasitas dasar, faktor penyesuaian lebar jalan, faktor penyesuaian pemisah arah, faktor penyesuaian pemisah arah, faktor penyesuaian hambatan samping, dan faktor penyesuaian ukuran kota. Kapasitas jalan (C) sendiri sebenarnya memiliki definisi sebagai jumlah kendaraan maksimal yang dapat ditampung di ruas jalan selama kondisi tertentu (MKJI, 1997).

Volume adalah jumlah kendaraan yang melalui suatu titik pada suatu jalur gerak per satuan waktu yang biasanya digunakan satuan kendaran per waktu (Morlok, 1978). Satuan yang digunakan dalam menghitung volume lalu lintas (V) adalah satuan mobil penumpang (SMP). Untuk menunjukkan volume lalu lintas pada suatu ruas jalan maka dilakukan dengan pengalian jumlah kendaraan yang menggunakan ruas jalan tersebut dengan faktor ekivalensi mobil penumpang (EMP).

Level of Service (LOS) dapat diketahui dengan melakukan perhitungan perbandingan antara volume lalu lintas dengan kapasitas dasar jalan (V/C). Dengan melakukan perhitungan terhadap nilai LOS, maka dapat diketahui klasifikasi jalan atau tingkat pelayanan pada suatu ruas jalan tertentu. Adapun standar nilai LOS dalam menentukan klasifikasi jalan adalah sebagai berikut:

Standar Nilai LOS

Tingkat Pelayanan

Rasio (V/C)

Karakteristik

A

< 0,60

Arus bebas, volume rendah dan kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang dikehendaki

B

0,60 < V/C < 0,70

Arus stabil, kecepatan sedikit terbatas oleh lalu lintas, pengemudi masih dapat bebas dalam memilih kecepatannya.

C

0,70 < V/C < 0,80

Arus stabil, kecepatan dapat dikontrol oleh lalu lintas

D

0,80 < V/C < 0,90

Arus mulai tidak stabil, kecepatan rendah dan berbeda-beda, volume mendekati kapasitas

E

0,90 < V/C <1

Arus tidak stabil, kecepatan rendah dan berbeda-beda, volume mendekati kapasitas

F

>1

Arus yang terhambat, kecepatan rendah, volume diatas kapasitas, sering terjadi kemacetan pada waktu yang cukup lama.

Sumber : MKJI, 1997

 

Strategi dan Metode Community Action Planning (CAP)

Definisi Community Action Plan (CAP)

Community Action Plan (CAP) adalah salah satu metode perencanaan partisipatif masyarakat di wilayah perdesaan yang dikembangkan oleh GTZ melalui program Good Local Governance (GLG). Dengan metode CAP ini diharapkan proses perencanaan pembangunan dengan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utamanya, dapat diimplementasikan mulai dari melibatkan mereka dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoringnya. Melalui metode CAP, diharapkan aplikasi dari UU No. 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional dapat diimplementasikan dengan partisipasi masyarakat sebagai kunci pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional. Manfaat lain dari metode CAP ini adalah terciptanya penguatan sipil dalam perencanaan pembangunan yang partisipatif bagi terbangunnya peran birokrasi pemerintahan lokal yang baik (good governance) baik dalam lingkup pemerintah di perkotaan maupun perdesaan.

CAP merupakan langkah yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kapasitas masyarakat dimana masyarakat dapat mengambil tindakan yang tepat untuk pembangunan mereka sendiri. Dalam hal ini, masyarakat sendiri lah yang mempersiapkan segalanya. Proses ini akan membantu masyarakat untuk terlibat dalam setiap perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan.

CAP adalah suatu proses yang bersifat on-going. Dalam hal ini, masyarakat tidak lagi menjadi subjek, karena mereka akan beralih menjadi objek yang berkedudukan sebagai perencana aktif dan memiliki microproject. CAP akan membangun dan mendukung kapasitas organisasi yang sudah ada maupun membangun baru. Kecepatan pelaksanaan CAP tergantung dari kapasitas kelompok microproject yang terbentuk dimana mereka secara bertahap mengambil peran aktif dalam setiap proses CAP. Proses CAP harus memiliki akuntabilitas bersama, baik antara masyarakat, pemerintah, dan stakeholder lain.

Strategi, Metode, dan Teknik dalam Community Action Plan (CAP)

Community Action Plan (CAP) adalah salah satu bentuk metode pendekatan efektif dalam proses perencanaan dan pembangunan partisipatif. Dengan CAP ini, segala bentuk perencanaan tindakan dilakukan bersama masyarakat. Selain itu, CAP juga dapat dijadikan sebagai upaya untuk merangsang suatu proses perencanaan yang berbasis pada keterlibatan aktif masyarakat dari wilayah perencanaan itu sendiri.

Proses CAP akan menghasilkan suatu rencana tindak bersama yang berorientasi pada hasil dalam jangka waktu tertentu, dengan pelaksanan dan penanggung jawab kegiatan yang jelas, rincian strategi pelaksanaan yang lengkap dan disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam rencana tindak tersebut. perumusan strategi yang disepakati oleh seluruh pihak diharap mampu memberi jaminan ketepatan sasaran serta dukungan dari semua pihak yang terlibat baik dalam pelaksanaan maupun pemeliharaan dari hasil tindakan yang telah dilakukan.

Tahapan dalam CAP

1. Pra-CAP = Merupakan tahap persiapan yang meliputi pengarahan masyarakat untuk berkomitmen dalam kegiatan CAP, penyiapan profil komunitas dan pembuatan panitia lokakarya. Tahapan ini berfungsi untuk menginformasikan tentang apa yang diharapkan dari kegiatan CAP yang terdiri atas kegiatan sosialisasi awal sebagai tahapan perkenalan kepada masyarakat dan semua stakeholder, pembuatan social mapping untuk memetakan wilayah perencanaan mereka sendiri yang berisikan segala bentuk potensi, permasalahan, dan peta aktivitas sosial, ekonomi, dan politik lokal termasuk kelembagaan-kelembagaan lokal yang ada, serta pengorganisasian masyarakat untuk membentuk wadah kegiatan bersama.

2. Lokakarya (Musyawarah/Diskusi) CAP = Tahap lokakarya ini berisikan presentasi dan diskusi dari hasil pemetaan seluruh permasalahan yang diawali dengan merumuskan dan membahas seluruh permasalahan dalam suatu kelompok-kelompok kerja kecil atau secara musyawarah. Setelah ditemukan rumusan-rumusan permasalahan yang lebih komprehensif, baru lah dilakukan presentasi dan diskusi oleh seluruh anggota masyarakat yang terlibat untuk mencapai suatu komitmen bersama. Hasil dari setiap lokakarya didokumentasikan dalam sebuah folder kemudian diserahkan kepada masyarakat dan pemerintah sebagai rekaman kesepakatan yang telah dicapai. Dalam tahap lokakarya ini, masyarakat nantinya akan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dalam suatu kegiatan microproject dimana mereka nantinya akan berdiskusi sesuai kelompok-kelompok kecil ini. Pembagian kelompok kecil ini dapat dibagi berdasar kesamaan kondisi sosial, ekonomi (mata pencaharian), atau pun yang memiliki suatu kepentingan yang sama.

3. Post-CAP (Implementasi) = Tahap Post-CAP ini lebih dititikberatkan pada kesepakatan-kesepakatan yang telah didapat dalam tahap lokarya sebelumnya. Kesepakatan-kesepakatan tidak saja berupa pelaksanaan dari program dan budgeting (pendanaan), tetapi juga terkait dengan komitmen masyarakat terhadap perubahan perilaku dan pola ocal masyarakat yang lebih baik. Tahapan ini berisi pula monitoring proses implementasi kegiatan yang telah dilakukan.